15Th Reformasi: Menangkal Gagap Demokrasi

Peristiwa Mei 1998 menjadi titik balik sistem pemerintahan Indonesia. Rezim otoritarian Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun tumbang secara dramatis oleh kekuatan rakyat dan mahasiswa. Korban berjatuhan. Tragedi tersebut telah mencatatkan sejarah kelam bangsa ini menuju demokrasi. Angin segar perubahan yang dibawa demokrasi telah melambungkan harapan rakyat di seluruh penjuru negeri. Demokrasi digadang- gadang akan mampu mengembalikan kedaulatan rakyat yang terpinggirkan (marginalized) berbilang tahun lamanya.

Berbicara demokrasi maka berkaitan erat dengan kepentingan rakyat. Apapun ritual demokrasi itu, muara utamanya adalah menegakkan kedaulatan rakyat pada multiaspek. Rakyat adalah alasan demokrasi itu dilahirkan. Sebagaimana lazimnya sebuah sistem, maka kualitas pelaksanaannyalah yang menjadi penentu tingkat keberhasilannya. Tidak ada sistem yang sempurna tanpa cela, namun tidak ada cela yang tidak bisa diminimalkan. Dua unsur utama landasan pelaksanaan demokrasi adalah prosedur dan substansi.

Senyawa Demokrasi: Prosedur dan Substansi

Pemilihan Umum Presiden tahun 2004 adalah perhelatan yang menandai bahwa Indonesia sudah sukses beralih menuju sistem demokrasi. Meski tentu saja di mata pergaulan dunia internasional, bangsa ini masih dianggap baru dalam berdemokrasi. Setidaknya dibutuhkan waktu 15 tahun untuk tahap awal inisiasi demokrasi suatu bangsa menuju kematangan. Itu berarti Indonesia kini, secara teori, tengah memasuki periode lepas landas menuju demokrasi yang matang.

Menarik untuk dicermati. Seberapa layak sebetulnya kita bersiap lepas landas menuju kematangan demokrasi? Pertanyaan ini mengemuka ditengah penegakan hukum yang masih terkesan tebang pilih, keamanan masyarakat yang masih dihantui tingginya angka kriminalitas, praktik korupsi yang makin akut, pembangunan fisik/ infrastruktur yang belum merata dan inferioritas bangsa dalam pergaulan internasional. Khasiat demokrasi kemudian dipertanyakan. Alternatif pun bermunculan ditawarkan oleh pihak yang gerah dan rindu akan kesejahteraan.

Bila memutar balik pada beberapa praktik penyelenggaraan Pemilu/ Pemilukada selama 1 dekade terakhir. Dapat dilihat bahwa prosedur demokrasi telah berhasil diterapkan. Pemimpin yang dilahirkan lewat mekanisme demokrasi secara teori adalah hasil kehendak suara terbanyak. Sebatas itu prosedur demokrasi telah ditaati. Dalam tata kelola pemerintahan, demokrasi juga telah membidani lahirnya tiga unit penyelenggara negara yaitu: Eksekutif (pelaksana kebijakan), Legislatif (pembuat kebijakan) dan Yudikatif (penegak hukum).

Pelaksanaan prosedur demokrasi telah berhasil dilaksanakan dengan semua nilai kurang dan lebihnya. Secara prosedural bangsa indonesia telah mampu berdemokrasi. Namun demikian sampai sejauh mana praktik demokrasi secara substansi di negeri ini juga tidak kalah penting. Keberadaanya menjadi penentu efektifitas prosedur demokrasi yang sudah dijalankan. Salah satu prosedur demokrasi yang paling vital adalah Pemilu dan rakyat sebagai pelaku utama dalam pemilu dalam hal ini bisa dianggap telah berhasil menjalankan tugasnya.Kembali pada substansi. Secara teori, substansi demokrasi meliputi segala sesuatu hal yang mendukung terciptanya iklim kondusif bagi banyak aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdirinya hukum dengan tegas dan jelas, toleransi umat beragama yang baik, keadilan dalam menikmati pembangunan dan kesejahteraan serta politik yang minimal dengan huru- hara. Beberapa hal tersebut adalah sedikit dari inidikator positif substansi demokrasi itu sendiri.

Berkaca pada catatan perjalanan bangsa ini, kita masih kerap melihat sejurus galeri peristiwa intoleran, impunitas hukum dan instabilitas sosial/ pembangunan. Negara dalam hal ini masih minimal bahkan terkadang absen menengahi berbagai polemik. Penyelenggara negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan substansi demokrasi yang didamba masyarakat, sebab rakyat adalah titik akhir yang merasakan tiap kebijakan yang mereka buat, laksanakan dan awasi. Ketika substansi dan prosedut berjalan tidak selaras, maka demokrasi belum bisa dikatakan berhasil. Sebab keduanya adalah senyawa yang mewujud sebagai demokrasi itu sendiri, bilamana salah satu komposisinya terganggu maka wujudnya akan rapuh. Dan bisa jadi inilah yang sekarang terjadi di negara kita.

Butuh Ketegasan dan Konsistensi

Peran para pengambil keputusan sangat diperlukan dalam meciptakan iklim demokrasi yang sarat substansi. Rakyat boleh berharap, prosedur boleh sudah jelas. Namun tanpa konsistensi dan ketegasan kuat dari para pimpinan, semua kondisi tersebut menjadi sia- sia. Peran pemimpin sangat diperlukan terutama untuk tiga hal yakni (pertama) menjadi pengendali operasional jalannya kualitas demokrasi. Cetak biru arah kebijakan negeri ini merupakan cermin paling jernih untuk melihat berapa besar itikad para pemimpin menegakkan kedaulatan rakyat dengan cara seoptimal mungkin mengajak dan melibatkan rakyat dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, sudah seharusnya pemipin menjadi corong yang menelurkan kebijakan sebagai instrumen untuk menggerek sense of belonging bangsa dalam mengawal demokrasi.

Kemudian, pemipin bersama dengan rakyat adalah pengawas jalannya demokrasi. Pemipin yang tegas akan segera menghalau segala rintangan yang menghalangi tercapainya cita- cita demokrasi. Rintangan tersebut dapat datang dari banyak arah. Dari faktor internal, rintangan tersebut dapat berasal dari oknum pihak terkait yang kurang komitmen dalam menjalankan kebijakan. Korupsi adalah contoh masif yang dapat segera ditindak karena sangat jelas dampak buruknya bagi kesejahteraan dan kedaulatan. Sedangkan dari faktor eksternal, rintangan tersebut dapat berasal dari pihak asing yang secara halus menggerogoti martabat bangsa melalui praktik bisnis yang mengeruk sumber daya alam negara (eksploitasi). Sebab eksploitasi berkedok bisnis merupakan praktik white collar crime yang menggadaikan kedaulatan bangsa dan melemahkan ekonomi dalam negeri yang justru menjadi penopang pelaksanaan demokrasi.

Terakhir yang tidak kalah utama adalah konsistensi para pemimpin dalam menjalakan peran baik sebagai pengawas maupun sebagai pengendali demokrasi. Pemimpin adalah benteng terakhir pertahanan nilai demokrasi, karena ditangan para pemimpin kebijakan ditimbang dan ditetapkan. Kebijakan yang sangat vital dalam menciptakan demokrasi yang sarat substansi. Substansi demokrasi yang kuat bersama dengan prosedur demokrasi yang sesuai jalur merupakan keniscayaan dalam menuju demokrasi yang matang.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja