Catatan Penjaga Loket

Derik mesin printer dotmatrix..
Denting bel antrian..
Menghadapi banyak wajah setiap hari..

Itulah rutinitas ku sejak seminggu lalu. Setiap hari dari Senin ke Jumat, di loket nomor satu (ada empat loket) aku ditugasi sebagai penerima laporan dan surat dari para wajib pajak (WP). Ini tempat yang baru dengan tantangan dan pelajaran yang juga baru. Bermula dari pukul 08.00 pagi, saat wajib pajak mulai datang melaporkan SPT Masa atau surat lain, aku harus sudah siap dengan ramah dan penampilan rapi menerimanya hingga petang hari sekitar pukul 16.00 WIB.

Volume pelaporan itu terbilang tinggi, dengan rata- rata lebih dari 250 antrian yang dilayani (tiap pelapor bisa membawa lebih dari 5 laporan), apalagi kalau sudah tanggal batas akhir pelaporan. Bagian terberat dari itu semua adalah bahwa disaat yang sama aku tidak boleh kalah dari rasa lelah dan amarah. Karena memang tingkat beban kerja yang tinggi bisa makin pelik saat ada pelapor yang enggan menaati aturan, tidak mau menerima penjelasan dan memaksa untuk diterima. Ditambah tugas membuat register yang menuntut ketelitian dan kecermatan, maka posisiku rentan membuatku masuk jebakan self-induced misery syndrom.

"Tuhan, beri hamba kekuatan untuk mengemban amanah ini". Doa itu jadi penolong dan penguat. Bahwa hidup tak akan selalu semudah yang dibayangkan, selalu ada pelajaran dalam renungan di tiap doa. Mungkin ini cara Tuhan menjawab doaku menjadi manusia yang berguna. Karena memang, tak bisa dipungkiri bahwa aku senang bila bisa membuat wajib pajak senyum, terutama mereka yang jauh datang untuk menyampaikan bukti setor atas penghasilan mereka dari usaha kecil- kecilan penopang hidup. Tapi semua kesenangan itu harus berhadapan dengan kesabaranku yang rapuh bila bertemu wajib pajak arogan dengan sentimen negatif tentang pajak. Harga diriku gampang sekali terusik cuma melihat mimik sinis dan mendengar ujaran bernada miring mereka. Tapi pekerjaan ini tetap harus dijalankan.

Namun akhirnya terpikir olehku. Mengapa aku harus merasa insecure saat bertemu tipikal wajib pajak seperti ini? Harga diriku jauh lebih besar dari tudingan tak berdasar mereka. Emosiku terlalu berharga bila kukerahkan untuk membalas sikap mereka yang seperti memancing. Kursi loket ini tak boleh jadi saksi drama tak penting karena emosi yang lepas kendali. Kesabaran adalah harga yang harus aku bayar agar bisa menjalankan tugas dengan baik. Hidup cuman sekali maka aku harus berarti. Dan bila saatnya tiba aku ditanya Tuhan, aku cuma ingin menjawab bahwa aku sudah semampuku menjalankan amanah dariNYA dengan baik.

Palembang
20 April 2013 13.50 WIB.

Comments

  1. Aku rindu bangku TPT..
    Yep, kyk yg abg blg, ada kepuasan saat wp trsnyum, saat wp menyalami kita dan mengucap trima kasih.
    Walau dgn resiko trkadang ada konflik antara hati dan wajah saat menghadapi wp yg "berbeda.
    Hati mungkin emosi, tp wajah hrus tetap trsenyum.
    Yep, tp tetap aja aku rindu bangku TPT itu. :)
    Ozan.

    ReplyDelete
  2. Iya Zan. Begitulah. Semoga sukses dan bhgia dkntor bru! Sekolah mn rencana?

    ReplyDelete
  3. Tp dsini dptny di pdi, bkn TPT, haha.
    Blum tw skolah mana ni bang, msh abu2..

    ReplyDelete
  4. yang bikin esmosi biasanya kalo dah nyangkut pbb son >,<!

    ReplyDelete
  5. @Tya: Aku belum pernah ngalamin yg PBB Dit, tentu lbh berat lg itu ya, wajar kl kau skrg makin sabar, sudah ditempa ternyata hehehe...
    @Bowas: Maju Gondrong, Eksekusi Saja! Jantan! :D:D

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King