Pajak Sebagai Jalan Tengah Polemik Buruh dan Pengusaha


Di tahun 2013 ini, hubungan antara buruh dan pengusaha belum sepenuhnya reda dari prahara. Setidaknya bila sepanjang tahun lalu demonstrasi oleh aliansi kaum buruh berlangsung masif dan berkelanjutan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang tidak sedikit. Kini di awal tahun 2013, gerakan serupa masih berlangsung dengan tuntutan yang sama, kesejahteraan. Namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa banyak pengusaha/perusahaan yang belum menerapkan UMP terbaru sehingga nasib dan kesejahteraan buruh masih menggantung tanpa kepastian. Upah Minimum Provinsi atau UMP yang beberapa waktu lalu mengalami kenaikan di beberapa daerah, termasuk Jakarta merupakan tanda kemenangan atas upaya kaum buruh menuntut kesejahteraan. Jakarta selaku barometer ekonomi nasional menjadi kiblat bagi daerah lain untuk melakukan hal serupa, sehingga aksi lokal yang dimotori aliansi buruh di beberapa titik di wilayah Jabodetabek di sepanjang tahun lalu menjadi aksi nasional kaum buruh di berbagai wilayah tanpa koordinasi serentak. Sehingga kenaikan UMP terjadi pula dibanyak wilayah di Indonesia. Ini menjadi tanda bahwa di negeri ini era upah buruh murah sudah berakhir. Pengusaha/ Perusahaan harus siap menerima kebijakan ini dengan inovasi untuk bertahan.

Harmonisasi Tripartit

Buruh bukan lah pemain utama dalam percaturan dunia tenaga kerja sektor padat karya. Namun tanpa buruh, roda ekonomi yang disokong pengusaha selaku kaum pemodal tidak akan dapat berjalan. Sehingga kedua pihak ini harus diawasi lewat campur tangan pemerintah, ini artinya ketiga pihak ini saling terkait dalam menciptakan suasana kerja yang kondusif. Hingga saat ini, pengusaha tengah meradang antara meneruskan usaha ditengah kebijakan yang tidak suportif. Pemerintah, melalui kebijakan kenaikan UMP menunjukkan keberpihakannya kepada kaum buruh selaku rakyat yang patut disejahterakan, dalam skala nasional pun, keberpihakan secara makro dituangkan lewat kebijakan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi minimal Rp. 2.025.000,-/bulan. Akan tetapi, keberpihakan ini belum terasa menyentuh sepenuhnya ke pihak pengusaha. Pengusaha masih harus berhadapan dengan kebijakan penyesuaian Tarif Dasar Listrik dan Upah Minimum Regional serta hal yang kontraproduktif lainnya.

Hal ini dapat memicu kekhawatiran, dalam hal daya tahan pengusaha ternyata tidak setangguh yang dibayangkan. Karena semua keadaan tadi dapat mendorong pengusaha untuk lebih memilih gulung tikar atau mengurangi skala usahanya. Sebagaimana diketahui bahwa pengusaha yang bergerak disektor padat karya adalah penyerap tenaga kerja yang paling banyak lantaran langsung menyentuh sektor riil. Ancaman peningkatan pengangguran adalah bahaya dalam jangka pendek yang bukan tidak mungkin dapat terjadi. Selain itu, menurunnya skala usaha karena peningkatan biaya utilitas dan biaya upah tentu akan menjadi disinsentif yang melemahkan perputaran ekonomi sektor riil yang menyumbang porsi besar PDB nasional setiap tahunnya.

Keadaan ini menunjukkan bahwa seharusnya hubungan ketiga pihak berjalan harmonis, pemerintah berada ditengah menjembatani kepentingan Buruh dan Pengusaha. Buruh butuh akan kehidupan yang sejahtera atas nama dan rasa keadilan, sebagaimana juga Pengusaha yang perlu akan iklim kondusif demi optimalnya pencapaian laba dan performa. Antara buruh dan pengusaha seharusnya berlangsung prinsip kerja sama yang mutual dan pemerintah berperan untuk menciptakan suasana agar hubungan antara keduanya berjalan kondusif.

Optimalisasi Peranan Ditjen Pajak

Pemerintah dalam hal ini melalui Ditjen Pajak dapat memainkan peran untuk berdiri di tengah menciptakan iklim kondusif bagi buruh maupun pengusaha. Insentif yang diberikan dapat berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk sektor usaha padat karya demi mendorong daya saing dan keberlangsungan usaha. Opsi ini merupakan stimulan positif atas disinsentif karena kenaikan TDL dan UMR yang menyasar pengusaha. Disatu pihak, alternatif penurunan tarif PPh atas sektor pengusaha tentu tidak akan kontrapropduktif dengan 13 program pengamanan penerimaan yang dicanangkan Ditjen Pajak. Karena fokus utama penggalian potensi lebih dikerahkan untuk optimalisasi basis PPN.

Hal ini dapat dimaklumi karena PPh masih rentan akan resistensi sosial seiring dengan masih rendahnya kualitas infrastruktur. Dalam jangka panjang paket stimulus semacam ini akan membuat pengusaha sektor riil padat karya makin menggeliat. Efek turunannnya dapat meliputi daya serap tenaga kerja dan stabilitas kontribusi sektor ini pada ekonomi nasional secara makro. Kebijakan ini merupakan salah satu jawaban yang dapat diambil untuk menunjukkan sikap impartisan pemerintah sebagai mediator antara buruh dan pengusaha. Sementara itu dari sisi buruh, terjaganya sumber pendapatan mereka dari keterikatan sebagai tenaga kerja kepada pengusaha merupakan daya dorong konsumsi penggerak ekonomi secara terkait dengan mata rantai lainnya.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kelayakan hidup bagi kaum buruh adalah sebuah keniscayaan ditengah kewajiban mereka untuk tetap produktif kepada perusahaan, sementara pengusaha juga berhak atas iklim kondusif untuk tetap bertahan dalam persaingan usaha secara lokal maupun global. Kedua kondisi ini dapat ditengahi melalui peranan pemerintah. Ketiganya harus sejalan demi harmonisasi tripartit. Ditjen Pajak dalam hal ini selaku pemerintah dapat mengambil peran tersebut melalui kebijakan paket stimulus semisal penurunan tarif PPh bagi pengusaha sektor padat karya sebagai kompensasi atas disinsentif yang dimunculkan kenaikan TDL dan UMR.

Comments

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja