Papua, Cendrawasih yang Terluka!
Papua adalah ironi. Kemiskinan dalam kelimpahan tambang. Kerusuhan di tengah damai bentangan alam dan endemi panjang tak berkesudahan hingga sekarang. Ada apa dengan Papua? Bertahun- tahun lamanya konflik menggerogoti ketenangan hidup di ujung timur Indonesia ini, sebagian seperti sengaja dipelihara namun sebagian mengalir begitu saja. Soal HIV/AIDS dengan tingkat prevalensi yang tinggi, separatisme sporadis oleh Operasi Papua Merdeka (OPM) dan dominasi PT Freeport Indonesia yang menciderai rasa keadilan dan kearifan lokal. Papua bagai Cendrawasih yang terluka.
Konflik menahun yang sudah lama ada di Papua ini membuat banyak pihak memandangnya sebagai friksi yang potensial berujung tajam pada konflik vertikal antara Papua dan Jakarta. Papua makin kedodoran dalam pembangunan, sementara Jakarta sebagai pusat terbitnya rekomendasi kebijakan dirasa kurang tanggap dalam mengambil tindakan. Lebih tepatnya, Papua merasa dimarginalkan dalam pembagunan, benarkah demikian? Sebetulnya, perhatian pemerintah pusat dalam menanggapi kenyataan di Papua sudah bisa dikatakan cukup besar. Konteks permasalahan yang disinyalir berkutat di seputar dana dan program pembangunan diinginkan Papua sudah diakomodir dengan penerbitan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Tetapi pada tataran operasional UU ini seperti kehilangan taji, dana APBD (kita ambil contoh tahun 2010) sebesar Rp. 8.035 T (Baik untuk Prov Papua maupun Prov Papua Barat) ternyata gagal menjamin terlaksananya pembangunan berkeadilan yang diidam- idamkan 3 juta jiwa lebih masyarakat Papua. Arah pembangunan makin menjadikan mereka tersisih dan nelangsa di tanah sendiri. Efektivitas penerapan status Otonomi Khusus akhirnya dipandang sebagai kebijakan yang boros dan penghamburan uang negara yang tidak kena sasaran. Pertanyaan lama kembali mencuat. Bila dana tak mampu menyelesaikan masalah, dan program pembangunan lewat status otonomi khusus pun tak bisa diandalkan? Apa yang menjadi masalah mendasar di tanah Mutiara Hitam ini?
Soal pengambilan kebijakan berlandaskan soal dana dan program tidak bisa dibebaskan dari skema kebijakan pengawasan, kontrol dan pengendalian. Tiga hal ini adalah anak kandung dari setiap kebijakan apapun yang diambil. Ketiga nya harus dijaga, dirawat dan diperhatikan secara intens untuk memastikan agar kebijakan yang diambil tepat sasaran dan berjalan sesuai rencana serta untuk meminimalisir penyimpangan yang tidak perlu. Dan aplikasi otonomi khusus ini masih setengah hati, ini bisa dilihat dari beberapa amanah UU 21/2001 yang masih jauh panggang dari api. Baik dari aspek formulasi kelembagaan (dimensi institusional) maupun sinergitas unit- unit penentu efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus. Sebagaimana disebutkan oleh Laksamana Mayjend (Purn) Freddy Numberi dalam opini nya yang dimuat harian Kompas tanggal 6 Juli 2012.
Dan, di level teknis pelaksanaan, masih banyak oknum Papua yang salah memaknai program Otonomi Khusus sebagai ladang korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara karena penyelewengan dana Otsus yang dilakukan pejabat pemerintah atau elit asli Papua senilai Rp 319 M padahal status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat akan melekat sesuai amanah UU 21/2001 hingga tahun 2025. Andai Otsus terus dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan kendali secara berkala maka tujuan Otsus untuk meredam potensi konflik dan menciptakan keadilan di Papua bisa dipastikan kemungkinan besar tidak akan pernah bisa terwujud.
10 tahun sudah status Otonomi Khusus Papua (sejak UU 21/2001 berlaku per Januari 2012) diberikan dan kini adalah saat yang tepat untuk dievaluasi kembali agar Papua tidak tertawan penyesalan dan keraguan keputusan masa lalu dalam Resolusi PBB Nomor 2505 tanggal 19 November 1969 tentang integrasi Papua dalam kerangka NKRI. Sejumlah langkah yang bisa diambil untuk mengembalikan arah kebijakan Otonomi Khusus Papua pada jalur yang diinginkan meliputi perubahan paradigma pendekatan supresiv menjadi pendekatan dialog Jakarta- Papua secara intens dan rasional dalam bingkai persatuan dan kesatuan agar isu- isu seputar pelaksanaan Otsus tidak berlarut menjadi masalah bom waktu. Dan penerapan kebijakan yang tegas atas penyimpangan yang ditemukan. Baik itu dilakukan oleh oknum pemerintah pusat atau oleh elit Papua sendiri.
Perihal Otonomi Khusus dan pelaksanaanya adalah salah satu dari sekian banyak masalah di tanah Papua, namun penyelesaian dan pengawalan kebijakan Otsus secara optimal akan dapat membantu penyelesaian konflik yang lainnya, seperti perang antar suku, endemi HIV/AIDS atau dominasi penguasaan tambang oleh PT Freeport Indonesia. Untuk itu, ini menjadi tugas besar untuk diselesaikan oleh kita semua demi menjaga keutuhan NKRI agar Papua, Cendrawasih yang terluka dapat segera mengangkasa melepas cerita kelam sarat ironi.
Salam
Ebas
P.S:
-----
Gambar diambil dari sini.
Konflik menahun yang sudah lama ada di Papua ini membuat banyak pihak memandangnya sebagai friksi yang potensial berujung tajam pada konflik vertikal antara Papua dan Jakarta. Papua makin kedodoran dalam pembangunan, sementara Jakarta sebagai pusat terbitnya rekomendasi kebijakan dirasa kurang tanggap dalam mengambil tindakan. Lebih tepatnya, Papua merasa dimarginalkan dalam pembagunan, benarkah demikian? Sebetulnya, perhatian pemerintah pusat dalam menanggapi kenyataan di Papua sudah bisa dikatakan cukup besar. Konteks permasalahan yang disinyalir berkutat di seputar dana dan program pembangunan diinginkan Papua sudah diakomodir dengan penerbitan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Tetapi pada tataran operasional UU ini seperti kehilangan taji, dana APBD (kita ambil contoh tahun 2010) sebesar Rp. 8.035 T (Baik untuk Prov Papua maupun Prov Papua Barat) ternyata gagal menjamin terlaksananya pembangunan berkeadilan yang diidam- idamkan 3 juta jiwa lebih masyarakat Papua. Arah pembangunan makin menjadikan mereka tersisih dan nelangsa di tanah sendiri. Efektivitas penerapan status Otonomi Khusus akhirnya dipandang sebagai kebijakan yang boros dan penghamburan uang negara yang tidak kena sasaran. Pertanyaan lama kembali mencuat. Bila dana tak mampu menyelesaikan masalah, dan program pembangunan lewat status otonomi khusus pun tak bisa diandalkan? Apa yang menjadi masalah mendasar di tanah Mutiara Hitam ini?
Soal pengambilan kebijakan berlandaskan soal dana dan program tidak bisa dibebaskan dari skema kebijakan pengawasan, kontrol dan pengendalian. Tiga hal ini adalah anak kandung dari setiap kebijakan apapun yang diambil. Ketiga nya harus dijaga, dirawat dan diperhatikan secara intens untuk memastikan agar kebijakan yang diambil tepat sasaran dan berjalan sesuai rencana serta untuk meminimalisir penyimpangan yang tidak perlu. Dan aplikasi otonomi khusus ini masih setengah hati, ini bisa dilihat dari beberapa amanah UU 21/2001 yang masih jauh panggang dari api. Baik dari aspek formulasi kelembagaan (dimensi institusional) maupun sinergitas unit- unit penentu efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus. Sebagaimana disebutkan oleh Laksamana Mayjend (Purn) Freddy Numberi dalam opini nya yang dimuat harian Kompas tanggal 6 Juli 2012.
Dan, di level teknis pelaksanaan, masih banyak oknum Papua yang salah memaknai program Otonomi Khusus sebagai ladang korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara karena penyelewengan dana Otsus yang dilakukan pejabat pemerintah atau elit asli Papua senilai Rp 319 M padahal status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat akan melekat sesuai amanah UU 21/2001 hingga tahun 2025. Andai Otsus terus dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan kendali secara berkala maka tujuan Otsus untuk meredam potensi konflik dan menciptakan keadilan di Papua bisa dipastikan kemungkinan besar tidak akan pernah bisa terwujud.
10 tahun sudah status Otonomi Khusus Papua (sejak UU 21/2001 berlaku per Januari 2012) diberikan dan kini adalah saat yang tepat untuk dievaluasi kembali agar Papua tidak tertawan penyesalan dan keraguan keputusan masa lalu dalam Resolusi PBB Nomor 2505 tanggal 19 November 1969 tentang integrasi Papua dalam kerangka NKRI. Sejumlah langkah yang bisa diambil untuk mengembalikan arah kebijakan Otonomi Khusus Papua pada jalur yang diinginkan meliputi perubahan paradigma pendekatan supresiv menjadi pendekatan dialog Jakarta- Papua secara intens dan rasional dalam bingkai persatuan dan kesatuan agar isu- isu seputar pelaksanaan Otsus tidak berlarut menjadi masalah bom waktu. Dan penerapan kebijakan yang tegas atas penyimpangan yang ditemukan. Baik itu dilakukan oleh oknum pemerintah pusat atau oleh elit Papua sendiri.
Perihal Otonomi Khusus dan pelaksanaanya adalah salah satu dari sekian banyak masalah di tanah Papua, namun penyelesaian dan pengawalan kebijakan Otsus secara optimal akan dapat membantu penyelesaian konflik yang lainnya, seperti perang antar suku, endemi HIV/AIDS atau dominasi penguasaan tambang oleh PT Freeport Indonesia. Untuk itu, ini menjadi tugas besar untuk diselesaikan oleh kita semua demi menjaga keutuhan NKRI agar Papua, Cendrawasih yang terluka dapat segera mengangkasa melepas cerita kelam sarat ironi.
Salam
Ebas
P.S:
-----
Gambar diambil dari sini.
Comments
Post a Comment
Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.