Papua, Cendrawasih yang Terluka! (II)

Ada pilu bila melihat luka yang menganga di tanah Papua yang tengah dikangkangi oleh PT Freeport Indonesia. Bukan soal ekploitasi tak berkesudahan yang hingga kini tengah berlangsung, namun lebih kepada ekses dari tindakan tersebut yang dengan gamblang memperlihatkan marjinalisasi penduduk lokal yang hanya menjadi penonton nelangsa. Penggelolaan sumber daya alam seharusnya mensejahterakan bukan meminggirkan, sehingga jelas bahwa ada kekeliruan sejak awal pada aspek pengelolaan yang berdampak buruk hingga kini.

Filosofi mendasar pengelolaan sumber daya alam negara kita (salah satunya) adalah UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi:

"Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Redaksi penting yang perlu dikaji adalah 'dikuasai oleh Negara', sehingga atas kekayaan sumber daya alam yang ada didalam bumi Indonesia adalah dibawah penguasaan negara dengan tujuan utama untuk kemakmuran rakyat, ini menunjukkan secara implisit bahwa pemilik utama dari sumber daya alam tersebut adalah rakyat, negara hanya diberi hak untuk mengelola sebagaimana sejalan dengan teori kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dari Perancis dalam konteks terbentuknya suatu negara.

Sebagai pihak yang mendapat mandat dari rakyat untuk mengelola kekayaan alam, maka kewajiban dibebankan ke pundak pemerintah (pejabat dan elite) untuk mengambil kebijakan apapun untuk mencapai tujuan memakmurkan rakyat, salah satunya lewat pemanfaatan sumber daya alam. Termasuk kemudian adalah melakukan kerja sama dengan pihak yang dirasa berkemampuan untuk mengelola sumber daya alam ditengah kenyataan bahwa kita tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mendapatkan manfaat maksimal dari kekayaan alam yang ada di negara kita. Itulah yang terjadi pada pemerintah kita dengan pelaku bisnis PT Freeport Indonesia. Singkatnya antara keduanya sudah terjalin kontrak kerjasama Usahawan/Business- Pemerintah/Government. Sejak 1967 sampai 2041 bila perpanjangan disetujui.

Kontrak yang sudah disepakati di tahun 1967 (merujuk pada UU nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Pertambangan, dan UU ini sudah dicabut) tersebut harus ditaati sebagai landasan dalam tiap perpanjangan kontrak. Isi dalam kontrak tersebut salah satunya adalah bahwa dari hasil pengelolaan tambang emas di tanah Papua oleh PT Freeport Indonesia, maka pemerintah Indonesia akan menerima royalti sebesar 1% (ini flat dari dulu hingga kini) per troy once yang kala itu senilai US$ 200. Dan bahwa isi kesepakatan kontrak menyebutkan bahwa PT Freeport Indonesia memiliki hak mengelola dan mengambil manfaat dari hasil pengelolaan. Konteks 'memiliki' menunjukkan kepemilikan yang lebih kuat dari makna 'menguasai'. Kedua poin utama ini harus ditaati karena sudah ditandatangani sejak awal sebagai suatu kesepakatan walau akhirnya kini dirasa tidak mencerminkan nilai keadilan.

Kedua poin tersebut telah membuat posisi Indonesia merugi secara materi sekaligus lemah secara legal hukum. Inilah pangkal muasal kebijakan yang membuat masyarakat Papua seperti tersisih bahkan tidak bisa merasakan hasil pengelolaan kekayaan alam ditanahnya sendiri. Sekuat apapun kebijakan pemerintah hendak mengubah nasib Papua dengan menambah besaran royalti dari yang sudah ditetapkan sejak tahun 1967, maka tidak akan berdampak apa- apa bila kebijakan tersebut ditolak PT Freeport Indonesia. Sementara aksi frontal menasionalisasi pun bukan opsi rasional yang bisa diambil karena negara kita mungkin akan belum siap menghadapi tuntutan material PT Freeport di Peradilan Internasional. Poin yang paling mungkin untuk dijalankan adalah melakukan kesepakatan ulang (renegosiasi) kedua pihak dan kini adalah saat yang tepat ditengah alotnya pembahasan pemerintah dan PT FI.

Saat ini PT Freeport Indonesia tengah mengajukan perpanjangan kontrak hingga tahun 2041, dari sini poin dasar yang bisa diambil bahwa landasan UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah tidak bisa digunakan lagi karena sudah dicabut sehingga renegosiasi harus menyentuh pada pembaruan poin kesepakatan seperti peningkatan nilai setoran royalti atau bila pemerintah merasa sudah mampu mandiri maka untuk tidak menyetujui perpanjangan kontrak bisa dijadikan alternatif keputusan. Kurtubi (pengajar Pascasarjana FEUI dan Univ Paramadina) memberikan saran jangka panjang agar pemerintah mengakhiri pola kerja sama Usahawan/Business- Pemerintah/Government menjadi Usahawan/Business- Usahawan/Business, dimana pemerintah menyerahkan pengelolaan kontrak kepada BUMN yang lebih dinamis, tidak rigid dan lihai dalam merespon lingkungan bisnis.

Renegosiasi Freeport adalah momentum tepat untuk membasuh duka Papua agar derap langkah pembangunan dan kebijakan yang selama ini membuat mereka terpinggirkan dapat diorientasikan menuju arah memakmurkan mereka atas nama rasa keadilan dan persatuan. Ketegasan pemerintah dalam mengarahkan prihal ini sangat diharapkan agar ini tidak jadi kesempatan yang diambil oknum jahat untuk kepentingan pribadi. Karena sekali kesalahan dalam kontrak ditandatangani maka kerugian yang akan ditanggung bisa memakan waktu puluhan tahun kedepan hingga tahun 2041. Jangan sampai Papua berduka lebih lama lagi, mereka adalah Cendrawasih yang seharusnya terbang mengangkasa setelah sekian lama terluka.

Salam

Ebas

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King