DJP & Jokowi Adalah Kita

DJP kini menjadi sasaran opini miring. Banyak pihak mengerenyitkan kening dan meragukan kemampuannya terkait mission impossible untuk mencapai target Rp1.296 Triliun, sebab disaat yang sama beragam tentangan mengemuka atas wacana- wacana agresif instansi yang dikomandani oleh Sigit Priadi Pramudito ini. DJP Akhirnya seperti dihadapkan pada kondisi paradoksal, ditantang tetapi sekaligus ditentang. Menyikapi beberapa aksi agresif DJP belakangan ini, beberapa kalangan menyesalkan mengapa baru dilakukan sekarang setelah target penerimaan melambung tinggi. Banyak yang belum paham, bahwa sebetulnya inovasi agresif DJP sudah lama dijalankan bahkan jauh sebelum isu monetary incentives diangkat. Ini dapat dibuktikan dari tren positif rata- rata pertumbuhan capaian penerimaan sebesar 15,61% dalam kurun waktu satu dekade terakhir.

Sulit membayangkan bagaimana mungkin DJP bisa dibebani tambahan target hampir sebesar Rp300 Triliun oleh Jokowi setelah shortfall tahunan rutin yang kerap kali mewarnai kinerja Korps Chakti Budhi Bhakti ini. Angka tambahan target sebesar itu hampir setara dengan kenaikan 39,69% dari realisasi tahun sebelumnya. Akibatnya oleh World Bank angka ini dinilai terlalu ambisius jika dibandingkan dengan pola kerja DJP dan daya dukung negara terhadapnya. Mari kita melihat lebih dalam, ada benang merah yang dapat kita tarik disini, artinya banyak pihak sebetulnya setuju bahwa Indonesia bisa memperoleh penerimaan dari pajak dengan jumlah yang ditargetkan. Sebab ada banyak potensi yang bisa digali baik yang sifatnya menyebar, nyata, dan samar- samar. Selain itu juga karena dari internal DJP sendiri telah melakukan pembenahan proses dan cara kerja yang belum banyak diketahui.

Berikut 5 (lima) alasan yang menurut penulis dapat menjelaskan mengapa angka target Rp1.300 Triliun itu cukup realistis untuk dicapai DJP:

1. Ironi Pertumbuhan Kelas Menengah

Setiap tahun majalah Forbes merilis daftar orang- orang paling kaya didunia dengan kepemilikan kekayaan sekurang- kurangnya 1 Miliar USD. Indonesia selalu masuk didalamnya, tidak kurang dari 19 orang sejak tahun 2012 bercokol didaftar tersebut. Ini merupakan indikator positif pertumbuhan jumlah kelas menengah di Indonesia seiring dengan stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,8%) jika dibandingkan dengan ASEAN (5,6%) dan ekonomi global (4,0%). Namun jumlah ini tidak berbanding lurus dengan kontribusi PPh Orang Pribadi dalam postur penerimaan pajak. Pada tahun 2012 jumlah PPh OP menyumbang 1,30% dari total penerimaan dan hanya meningkat 0,01% di tahun 2013. Ada kemungkinan bahwa penambahan jumlah kekayaan Wajib Pajak Orang Pribadi (Non Karyawan) yang potensial tidak sebanding dengan kontribusi pembayaran pajak yang mereka lakukan. Ini jelas menjadi tantangan dalam memenuhi target pajak dari ekstensifikasi dan intensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi (Non Karyawan) yang telah ditetapkan sebesar Rp40 Triliun.

DJP perlu kita dukung sepenuhnya untuk menggali lebih dalam potensi tersebut. Dukungan penuh itu harus dimaknai sebagai implementasi tekad Presiden Joko Widodo menjalankan visi misinya semasa kampanye kemarin yang nota bene membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kebijakan DJP menerbitkan PER-01/PJ/2015 tentang pelaporan bukti potong bunga deposito sebetulnya merupakan langkah awal berada dalam satu jalan untuk menyentuh potensi itu. Beleid itu menuntun pada transparansi dan akuntabilitas pelaporan kekayaan Wajib Pajak potensial. Namun sayang, belum berumur seumur jagung, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini menuai kontroversi dan akhirnya ditunda pelaksanaanya dengan alasan kekhawatiran adanya rush (penarikan dana dalam jumlah besar dalam waktu singkat) dan tidak sesuai dengan Prinsip Kerahaasiaan Bank. Inilah yang semula disebutkan didalam artikel ini bahwa DJP Akhirnya seperti dihadapkan pada kondisi paradoksal, ditantang tetapi sekaligus ditentang.

2. Mengapresiasi Korporasi

Di dekade kedua Rezim Orde Baru berkuasa (1988- 1998) Pemerintah memiliki tradisi positif yang kini sudah lama tidak dijalankan. Tradisi itu adalah pemberian apresiasi kepada sejumlah tertentu Wajib Pajak Korporasi pembayar pajak terbesar. Ini ironis, mengingat justru seharusnya Rezim Reformasi lebih baik dalam hal transparansi. Tanggal 14 Februari 1998 adalah terakhir kalinya event pengumuman pembayar pajak digelar. Hal semacam ini menjadi penting untuk membuat para korporasi pembayar pajak memiliki perasaan setara risih dan malu jika peringkatnya berada dibawah sang kolega. Karena itu semua dirangsang untuk berlomba naik kelas ke peringkat atas atau minimal bertahan di klasemen tertentu. Ketiadaan praktik semacam ini membuat perasaan bangga dan berkompetisi perlahan luntur dan akhirnya lenyap.

DJP dapat menghidupkan kembali gelaran tradisi semacam ini sebagai bentuk penerapan nilai transparansi dan pemberian apresiasi kepada korporasi (diluar unsur negara) yang telah melunasi kewajiban perpajakannya. Ini sekaligus sebagai kompensasi yang bisa diberikan pemerintah atas ketiadaan penerimaan manfaat secara langsung yang diterima oleh para korporat pembayar pajak. Realisasi penerimaan pajak sampai pertengahan Maret 2015 ini mencapai 12,36% atau sekitar Rp160 Triliun dan jumlah ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2014. Capaian ini akan terus mengkhawatirkan jika DJP tidak peka dalam memelihara kesadaran dan kontribusi Wajib Pajak Korporasi. Porsi kontribusi PPh Badan selalu diatas 75% sejak 6 (enam) tahun terakhir (2008- 2013). Peran Wajib Pajak Badan menjadi penentu pencapaian target penerimaan. Saat ini menjadi momen yang tepat, setelah dua bulan belakangan DJP gencar melakukan gijzeling terhadap para pengemplang pajak, akan lebih baik juga untuk menunjukkan bahwa DJP juga memberikan perhatian terhadap para korporasi patriot negeri. Ada keseimbangan antara law enforcement dan reward.

3. Booming Sektor Properti

Para analis properti dari Colliers International Indonesia, Jones Lang LaSalle Indonesia dan pakar properti Indonesia Dr.Ir. Panangian Simanungkalit memprediksi kondisi pasar properti Indonesia akan mulai bangkit setelah krisis ekonomi global tahun 2008. Prediksi tersebut terbukti cocok, beberapa tahun terakhir booming sektor properti sudah menjadi fenomena tersendiri, penetrasi sektor ini menjangkau banyak daerah terpencil. Keberadaanya tidak lagi semata menjadi monopoli daerah perkotaan. Indikator lain yang menunjang prediksi booming properti di Indonesia adalah tingkat suku bunga KPR yang cukup rendah, tingkat inflasi yang terjaga dan stabil, ledakan jumlah penduduk kelas menengah Indonesia yang luar biasa, peningkatan jumlah wisatawan ke Indonesia dan derasnya dana masuk dari negara-negara yang terkena krisis ke Indonesia untuk mengamankan dananya dengan berinvestasi yang salah satunya investasi properti.

Pada tahun 2012, jumlah kredit properti baik residensial maupun komersial mencapai Rp241,72 Triliun atau meningkat sebesar 44,67% dari tahun 2011. Nilai tersebut hanya berasal dari transaksi yang difasilitasi oleh kredit perbankan, jumlahnya tentu masih lebih besar jika diakumulasikan dengan transaksi non kredit. Namun demikian jumlah ini masih tidak sebanding dengan porsi kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak. Tahun 2012, sektor ini hanya menyumbang sekitar 1,56% atau hanya bergerak 0,14% dari tahun sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan adanya potensi pajak yang mengendap dan butuh diungkap dengan kebijakan agresif DJP yang harus kita dukung bersama. Jika diambil angka moderat dengan asumsi total penjualan produk real estate (kredit & cash) mencapai Rp475 Triliun setahun maka secara agregat setidaknya tersedia potensi fresh money bagi negara sekitar Rp21,85 Triliun dari PPh Pasal 4 Ayat 2 Final dan Rp42,75 Trilun dari PPN. Jumlah ini jika dibandingkan dengan riil setoran yang sudah diterima oleh negara maka hasilnya akan dapat menunjukkan besaran potensi pajak yang dapat ditindaklanjuti. Mereka seolah berkata: find me guilty!

Tapi menindaklanjuti potensi ini tidak semudah membalik telapak tangan. DJP telah banyak melakukan kajian, strategi, dan gebrakan untuk mengejar potensi yang ada didalam fenomena tersebut. Tapi agresivitas DJP hanya sampai dilevel administratif tanpa diiringi penindakan optimal yang memberi deterrent effect bagi pelaku sektor properti. Ini berarti tanpa kebijakan yang lebih agresif dan berani, serta tanpa daya dukung perangkat negara yang optimal maka pola yang sama akan berulang. Shortfall ditengah potensi. Untuk kepentingan bersama, sudah waktunya semua lini mendengar pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa beliau mendukung langsung langkah DJP untuk merealisasikan potensi tersebut. Ragam modus yang sering dipakai para oknum pengusaha sektor ini dapat dideteksi jika semua pihak bahu membahu menyokong tugas DJP. Biasanya pihak lain yang terkait dengan sektor ini adalah Notaris/PPAT, PEMDA, dan masyarakat konsumen.

4. Reorganisasi DJP Menuju Badan Otonom

Maret 2015 tercatat sebagai tonggak penting dalam perjalanan DJP. Tonggak tersebut menandai reorganisasi yang dilakukan untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Reorganisasi yang dilandasi oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-206.02/PMK.01/2014 tersebut meliputi perubahan struktur menjadi lebih adaptif dan diiringi dengan penguatan internal berupa penambahan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi (TI). Ada harapan disini, meski belum bisa dkatakan sempurna 100% namun setiap perubahan tentu membawa wind of change dalam mencapai tujuan pengamanan target penerimaan pajak Rp1.300 Triliun. Hal paling kentara yang bisa dilihat dari reorganisasi ini adalah adanya penambahan/ penggabungan fungsi yang mendukung pelaksanaan tugas menjadi lebih agresif dan sinergis. Terdapat fungsi baru di level Kantor Wilayah untuk memudahkan pengawasan dan implementasi, yaitu fungsi Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan, serta fungsi Intelijen. Selain itu, pembedaan fungsi Account Representative (AR) di tingkat Kantor Pelayanan telah memberi kesempatan bagi DJP untuk lebih fokus dalam menjalankan fungsi pelayanan/ konsultasi dan pengawasan/ penggalian potensi.

Dua contoh yang diberikan tersebut hanya sekadar contoh mikro perubahan DJP yang diusung didalam PMK-206.02/PMK.01/2014, ada banyak penguatan lainnya yang mengiringi tuntutan berat instansi ini, penguatan yang dilakukan ini merupakan langkah- langkah awal yang disiapkan DJP untuk menyambut saat lepas landas berpisah dari Kementerian Keuangan yang digadang- gadang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Otonomi DJP adalah jawaban atas tantangan dan kesulitan yang dihadapi korps yang bermarkas di Gatot Soebroto (Jakarta Selatan). Pemangkasan jenjang birokrasi yang kerap mempersulit pengambilan keputusan dapat dilakukan, sebab Otonomi menjanjikan kemandirian bagi DJP untuk mencukupkan kebutuhannya sendiri tanpa terkendala koordinasi rumit dengan instansi lain. Termasuk untuk mengamankan target penerimaan pajak, karena jalur koordinasi yang dibangun langsung berada di bawah Presiden.

Selaku kepala negara, Presiden Joko Widodo memang belum memberikan sikap resmi terkait wacana ini, namun demikian, ini adalah aksi positif yang patut didukung dan dikawal agar DJP menjadi instansi penghimpun pajak yang kuat di negeri ini. DJP menjadi pertaruhan Presiden Joko Widodo dalam mensukseskan implementasi visi misinya. Terlalu riskan bagi Presiden Joko Widodo menepikan peran DJP tetapi disaat yang sama menginginkan semua visi misinya berjalan. Jauh diatas itu, yang paling menanggung resiko jika wacana penguatan DJP tidak didorong adalah rakyat indonesia. Visi DJP untuk membuat Indonesia Mandiri dari Pajak tahun 2019 harus memperoleh dukungan masyarakat dan unsur pemerintah demi kebaikan bersama dan kesejahteraan jangka panjang.

5. Vitamin itu Bernama Perpres 37 Tahun 2015

Kisruh kontroversi pembebanan target penerimaan tahun 2015 dijawab oleh Presiden Joko Widodo dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015. Melalui beleid ini insan DJP diberi jalan untuk hidup yang lebih sejahtera tetapi disaat yang sama dibayangi ancaman fluktuasi tahunan take home pay karena klausul besarannya yang tergantung capaian realisasi penerimaan. Vitamin itu ternyata tidak gratis, there is no such free lunch. Terlepas dari kontroversinya, setidaknya memang ini adalah sebuah monetary incentives yang tentu akan menstimulasi kinerja 32.000 lebih pegawai DJP. Kita bisa memaklumi itu, DJP adalah institusi publik yang paling sarat godaan integritas dalam banyak wujud. Adanya distingsi penghasilan yang diperoleh pegawai negeri di DJP dibandingkan dengan pegawai negeri ditempat lain kemudian menjadi suatu hal yang sejalan dengan tujuan mengamankan penerimaan negara.

Namun demikian, memaklumi saja tidak cukup, kita harus membantu DJP dengan mengawalnya dalam bekerja. DJP membutuhkan bantuan agar on the track, dan terjaga akan tanggung jawab yang diembannya, terutama jika disandingkan dengan perolehan take home pay yang biasa disebut dengan vitamin itu, pengawasan dan pengawalan masyarakat terhadap DJP dapat membantu institusi ini membangun kerja keras yang lebih keras dan kerja cerdas yang lebih cerdas. Kinerja DJP selalu menjadi sorotan khususnya menjelang akhir tahun. Seberapa besar realisasi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan akan menjadi wajah DJP di masa yang akan datang dan disaat yang sama juga akan menjadi bahan evaluasi bersama untuk kita tentang seberapa kuat dan konsisten dukungan penuh yang diberikan segenap elemen kepadanya.

Penutup

Meski diserang nada sumbang, mencapai target Rp1.300 Triliun bukan suatu hal yang mustahil bagi DJP. Ada sejumlah alasan yang melandasi keyakinan itu, alasan tersebut bersifat eksternal maupun internal. Namun demikian, DJP tidak bisa berdiri sendiri dalam berpijak pada alasan tersebut. Dukungan banyak pihak menjadi prasyarat yang mutlak sebelum DJP menelurkan kebijakan agresif agar bisa berjalan efektif. Dukungan tersebut harus diyakini semua pihak sebagai bentuk implementasi langsung arahan Presiden Joko Widodo yang paham betul peran DJP dalam menjalankan visi dan misinya.

Dari internal DJP, proses pembenahan selalu berlangsung, meliputi pembenahan struktur berupa reorganisasi menurut PMK-206.02/PMK.01/2014 maupun perubahan gaya kerja yang lebih agresif seperti penindakan berupa gijzeling terhadap pengemplang pajak yang tidak kooperatif dengan nilai nominal tertentu. Diluar itu, memang masih tersedia lahan potensial (booming sektor properti dan Wajib Pajak Korporasi) untuk menggali penerimaan pajak namun dalam pelaksananya DJP praktis tidak bisa berbuat banyak selain berharap pada dukungan penuh semua pihak dalam menjalankan tugas menghimpun penerimaan negara dari pajak.

World Bank boleh memandang Presiden Joko Widodo terlalu ambisius. Namun, sikap beliau ini merupakan cerminan dari tekad keras untuk mewujudkan janji- janji kampanye beberapa bulan silam, dan untuk itu penguatan dan dukungan yang penuh untuk DJP adalah harga mahal yang harus dibayar. DJP dan Jokowi menanti dukungan kita karena secara sederhana DJP dan Jokowi adalah kita.

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja