Hidup Minus Drama

Saya merasa semakin malas untuk terlalu banyak berkumpul entah itu dengan teman maupun dengan keluarga besar, apabila itu tidak penting- penting sekali. Buat saya kini, menghabiskan waktu berdua dengan istri dirumah, berolah raga atau menekuni hobi jauh lebih menarik. Bukannya enggan bergaul atau membaur tetapi pengalaman hidup telah memberitahu saya bahwa setiap orang disekitar kita selalu punya cara dan selalu merasa punya hak untuk sekadar ingin tahu isi dapur dan kehidupan pribadi rumah tangga kita. Dan saya kira jalan terbaik agar tidak terjebak didalamnya adalah dengan menjauhi atau meminimalkan komunikasi saja

Saya berpikir mungkin ini tanda bahwa saya semakin menua. Kalau iya pun tak mengapa. Sebab itu berarti saya tidak lagi sekadar mampu menyusun prioritas hidup tetapi juga berani menjalankannya. Bersama dengan orang tua, maka istri saya adalah orang yang paling berhak atas waktu saya. Saya harus pandai mengatur diri dan memastikan bahwa mereka telah saya penuhi hak nya. Sementara orang lain diluar sana sebagian hanyalah pribadi yang atas nama takdir telah saya temui. Bisa jadi, mereka dengan segala tutur dan tingkah lakunya tidak memberi arti dalam perjalanan hidup saya. Tetapi sebagian lagi bisa jadi memang telah ada untuk tidak sekadar singgah kecuali memberi hikmah dan sudut pandang. Agar bisa membedakan keduanya perlu intuisi yang terlatih.

Pelajaran hidup yang melekat justru saya dapat dari model pribadi yang minus hikmah ini. Mereka adalah pribadi hasil bentukan masyarakat yang abai empati. Tutur mereka dengan santai dapat meninggalkan luka bahkan mungkin tanpa mereka sadari. Awalnya saya geram, tapi seiring waktu saya mampu membuat pilihan untuk tetap santai. Saya kuat dan terlatih menghadapi serangan verbal yang atas nama pergaulan dan perhatian kerap mereka lontarkan. Buat saya, ada garis tegas yang jelas antara sekadar ingin tahu untuk mengukur diri dengan peduli yang lahir dari rasa empati. Dan itu tidak bisa ditutupi. Truth is a truth, lie is a lie.

Saya cuma mau seperti ini. Tenang tanpa drama nihil guna. Mahal betul harga ketenangan itu. Tak tembus berbilang ratusan juta rupiah. Ketenangan yang saya dapatkan adalah kejelasan arah hidup yang mau saya tuju bersama mereka terkasih. Kejelasan yang tidak diganggu oleh standar yang kerap dituntut mereka diluar sana. Mereka bersuara karena apa yang merek lihat. Mereka tidak sampai berpikir soal apa yang mungkin mereka tidak tahu atau apa mereka tengah lupa soal takdir? Lagipula kelak di ujung pergantian dimensi, saya akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka yang berhak atas saya. Bukan mereka yang cuma kerap tampil kesiangan di akhir pagi.

Erikson Wijaya
Indralaya. 22 Agustus 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Sajak Pajak