Hidup Untuk Hidup

Hidup adalah perjalanan menuju mati.

Sayangnya fakta paradoksal ini kerap menjadi abai karena tertutupi mewahnya kehidupan dunia yang diukur dalam satuan fisik dan materi. Ada yang bilang kondisi ini adalah pergeseran alamiah yang dimotori oleh seleksi alam. Pendapat yang benar bila cuma disasar ke mahluk selain manusia yang hanya memiliki naluri dan insting. Namun tidak bisa ditujukan kepada kita (manusia) karena kita diberikan oleh ALLAH. SWT dua hal yaitu akal untuk berpikir dan hati yang memberi kendali.

Hati adalah apa yang membuat kita menjadi mulia atau hina. Hati yang lebih dari sekadar sekerat daging didalam tubuh, ia tempat rasa sesak atau hangat bersembunyi dan biasa muncul ketika momentumnya datang. Kehadiran sensasinya tidak bisa dibohongi. Namun butuh penglihatan yang jernih untuk mengenalinya dan kejujuran untuk mengakuinya sebab setiap pengakuan yang jujur adalah titik masuk menuju perubahan. Disaat yang sama, pengabaian atas peringatan yang muncul di tiap momentum sama saja dengan menunda kegelisahan.

Tidak ada manusia yang sempurna tapi tidak ada kesalahan yang bisa dibenahi. Dalam hidup, kesalahan yang muncul karena hati yang gagal ditata sudah sangat jamak memicu selisih paham sampai pertumpahan darah. Menata hati kemudian menjadi sangat penting untuk menjalani kehidupan. Namun menatanya tidak semudah menata meja kerja atau pekarangan rumah, sebab kita bukan pemiliknya. Ia cuma ada sebagai tempat agar kita bisa merasai hangatnya iman dan sesaknya ingkar. Menatanya agar selalu sesuai fitrah adalah cerita tentang betapa tergantung kita kepada ALLAH. SWT sebagai pemiliknya.

Mengakui dalam doa dengan segala kerendahan hati bahwa kita lemah dan bodoh merupakan jalan agar hati selalu lapang menghadap padaNYA. Tidak ada yang salah disitu, karena memang status hidup kita adalah sebagai hamba jadi sesuai fitrah hanya kepadaNYA kita berdoa. Faktor lingkungan dan pesona duniawi telah membuat kita lupa bahwa segala daya upaya dan logika kita tidak bisa menandingi kuasaNYA.

Hati yang tenang tanpa iri atau dengki adalah jalan menuju mulia, disusupi keduanya ia dapat menjadi hina. Kita hidup untuk "hidup", namun diantara keduanya kita harus menuju mati sebagai jalan utamanya. Semoga hati yang lapang dengan fitrah yang lurus dapat tetap kita miliki. Agar kelak bila saatnya tiba, tidak lagi ada yang perlu disesali.

Salam

P. S: ------
1. Segala syukurku padaMu ALLAH. SWT untuk telah memberikan seorang Istri yang telah banyak menjadi pengingat dan pemberi masukan ditiap gundah dan kebingungan. Semoga kami tetap dapat selalu berada di dalam jalan fitrahMu. Aamiin.

2. Catatan renungan hari lahir yang ke 26. Jakarta, 14 September 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Touring Palembang- Baturaja