Kamu Pergi, Aku Senang.


Belakangan saya baru sadar bahwa ada satu hal yang telah hilang perlahan dari dalam diri saya.. yang dengannya dulu, saya terbiasa menjadi 'beda'. Sesuatu itu bukan harta, uang atau materi dan serupanyalah. Tetapi satu sisi emosi diri saya sendiri, yaitu: Sikap Kompetitif saya.

Ya, saya akui saya telah mulai kehilangannya, tapi jujur harus saya akui juga bahwa saya suka, karena tak ada hal yang lebih tenang daripada menjalani hidup dengan selalu bersyukur, seperti nasihat seorang kawan:'rejeki tak akan tertukar'

Dulu saya seperti selalu ingin menjadi manusia papan atas yang saya definisikan sebagai manusia yang dipandang hebat, cerdas dan mengundang decak kagum. Saya makin gila menggiatkan diri tenggelam dalam dunia saya sendiri dan tidak mengijinkan satu orangpun walau hanya satu langkah pun melebihi diri saya. Sebenarnya semua bukan terjadi dengan kebetulan, walau bukan termasuk kategori yang cerdas, saya ini alhamdulillah memiliki karakter tekun. Saya sanggup menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengerjakan suatu hal yang mungkin menurut orang sangat membosankan. Namun demikian seiring waktu saya mulai dihadapkan dengan 'kenyataan' bahwa ada beban yang harus saya tanggung, lalu ditambah pula seringnya saya bertemu manusia-manusia yang sibuk meng-upgrade diri dengan bersaing satu sama lain. Alhasil saya berdiri diantara ketakutan dan harapan, keyakinan dan keraguan serta kecemasan dan depresi.

Terdengar berlebihan? yaa.. memang begitulah adanya, tak satu pun ditambah, tak sedikit pun dilebihkan. Kata orang makin banyak berjalan maka makin banyak yang dilihat dan makin banyak berkawan maka makin banyak pula yang dipahami. Antara penglihatan mata ini ke sekitar, bahwa memang benarlah tentang kehidupan ini luas, lebih luas dari yang saya tahu sebelumnya, yaa.. maklumlah kadang harus jujur juga bahwa ada bagian dari dalam diri ini yang mirip katak dalam tempurung. Saking luasnya maka harus pandai-pandai memilihlah kita mau apa yang diutamakan, dan tentunya satu pertanyaan yang patut kita jawab: 'is that solely about me? what about those surround me'. Karena kadang ada saatnya keputusan yang diambil bukan semata-mata untuk membuat kita makin bernilai dengan meninggalkan mereka yang kita cintai bermil-mil jauhnya dibelakang.

Mata ini melihat, namun hati ini merasa, hati fungsinya untuk mengerem otak yang selalu mengedapankan logika, memang benar bahwa logika adalah segalanya, tapi ada banyak hal juga yang tidak bisa dibantah logika, seperti bagaimana sperma yang berfusi dengan ovum mampu membentuk janin bayi yang bernyawa, nyawa adalah tanda hidup, lalu masa iya sperma mengandung nyawa?. Dan ujung dari semuanya adalah rasa yakin bahwa rejeki tidak akan pernah tertukar. Saya ini bukan seorang fatalist, tapi saya juga bukan seorang rasionalist, saya berdiri ditengah paham bahwa sesuatu itu harus dikejar untuk sekedar -dengan segenap daya upaya- untuk tahu apakah ada bagian kita disana, jika tidak berarti belum rejeki dan mari kita kejar yang lain saja.

Saya tidak bisa berbohong bahwa ada ketenangan yang tidak bisa saya bilang betapa nikmatnya saat sisi emosi itu pergi, saya mulai belajar banyak hal, belajar mengakui kekurangan dan bersukur atas kelebihan, dan yang lebih penting dan melegakan lagi adalah belajar mengakui dan menghargai kelebihan orang lain serta belajar dari mereka, saling melengkapi lebih tepatnya. Dari apa yang saya pikirkan, kondisi kompetitif itu muncul karena adanya keadaan bahwa setiap orang atau mayoritas orang berpikir untuk mencapai hasil akhir yang menentukan kehidupan mereka, dan biasanya diukur dengan ukuran status, gelar atau materi. Sehingga hanya sedikit lagi yang bisa menikmati proses, yang tidak peduli akan hasil akhir yang akan dicapai, yang terpikirkan hanyalah bagaimana untuk mendapatkan sesuatu pemahaman dari apa yang mereka pahami, yang bisa melekat membawa manfaat.

Lagi pula, life is an adventure exploring an unknown path to enjoy for gaining things enligthening. Pertanyaannya. Bagaimana bisa kita menikmati proses itu? sepertinya itu berkaitan erat dengan bagaimana memandang hidup dan menjalaninya sebagai kata hati, dan untuk bisa sampai kesitu mungkin pesan moral dari film 3 idiots bisa kita ambil: Just become whatever, your heart says. Cuman hati-hati juga karena kalau hati membisikkan hal-hal salah maka itu sebenarnya bukan bisikan hati tapi bisikan setan (katanya gitu seperti di sinetron tayangan SCTV)
. Oh ya, sudah sejak setahun ini didalam dinding kamar kos saya tertempel kata-kata yang bunyinya seperti ini:

"Ya ALLAH.. Teguhkanlah aku dalam KETEKUNAN belajar sebagai wujud sukurku pada MU, dan tenangkan aku dalam TAWAKKAL kepadaMU karena Engkaulah yang maha tahu apapun yang terbaik bagi hambaMU ini"

#Satu hal yang perlu diingat, dengan menuliskan kata2 itu bukan berarti saya termasuk orang alim yang taat-taat banget, kadang saya belok-belok juga yaaa... maklum anak muda.. hehehehe..

Comments

  1. bagoss.....nice share

    ReplyDelete
  2. OOT: selamat bertualang menuju Salak ya mas ....salam buat alam....

    ReplyDelete
  3. @AM: wah.. hahaha kok tau yak?? :D Iya, makasih banyak ya, insyaALLAH berangkat akhir pekan ini.. sipp..

    ReplyDelete
  4. Dari sekian banyak posting,tertarik ngomen yang ini..Nice share,nggak mudah memang mengalahkan ego diri..Kepp struggling

    Suka deh nemu blog ini,pemikirannya tajam dan sarat manfaat..Belajar dari mana saja,siapa saja..Thanks a lot^^

    Salam,

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Cerita Psikotes Erikson

Paradoksal Jakarta

Nonton Film King