Catatan Pendakian Salak


Note ini saya dedikasikan untuk: SABUMI, Genkis dan Codet, Ekong dan Romi, serta tiga rekan dari Pandenglang (lupa namanya) serta KPA STAPALA STAN, terima kasih banyak untuk semuanya, karena pendakian ini tidak akan menjadi semakin berkesan dan dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya keberadaan peran masing-masing kita semua.

Terencana sejak sekitar 2 bulan lalu dengan maksud untuk menciptakan satu momen kebersamaan diantara saudara-saudara seperjuangan saya waktu diklat STAPALA kemaren (saya DO), akhirnya berangkatlah 30 pasang kaki-kaki kecil kami ini menuju salah satu puncak yang memaku bumi Jawa Barat, Gunung Salak. Jumat, 25 Maret 2011, sekitar jam 23.00 malam dengan menggunakan truk TNI yang menyediakan jasa antar jemput dalam perjalanan kami. Jam keberangkatan tersebut menyesuaikan dengan jadwal rapat BPH STAPALA mengingat banyaknya saudara-saudara SABUMI saya yang turut serta dalam rapat tersebut. It is understanable, as they are now the members required to give their best for that entity so we just adapt the schedule we made following the meeting's time.

Jumat, 25 Maret 2011, Pukul 23.00, Bendungan Kampus-Plasa Mahasiswa STAN.
Begitu rapat BPH STAPALA selesai, maka segera saya (Ebaz) dan yang lainnya yang sejak tadi menunggu di kos-kosan saya menuju Bundaran kampus, tempat yang menjadi meeting point sebelum keberangkatan sekaligus lokasi parkir truk TNI yang akan mengangkut kami menuju BaseCamp Cidahu. Dilokasi sudah menunggu banyak anggota tim yang sudah siap untuk berangkat, ditambah pula kami-kami yang menuju lokasi. Total semua anggota yang ikut serta adalah 30 orang, dan jumlah fixed ini diperoleh setelah terjadi pasang surut peserte menjelang keberagkatan. Daftar nama peserta dapat dilihat di note saya sebelumnya yang berjudul : ITINERARY SALAK KITA. Setelah memastikan kembali bahwa semua anggota tim yang fix-confirmed ikut telah hadir, maka sebagai langkah awal, kami memulai perjalanan ini dengan berdoa bersama dilanjutkan pengecekan performa/jumlah alat kelompok lalu pembagian kelompok yang tersusun menjadi: Tim advanced, Tim I s.d Tim V dan Tim Sweaper. In essence, i learned from my lesson that it's good to know where to go, but knowing the risks and obstructions contained within the field are much more important.

Dan sekitar pukul 00.30, Sabtu dini hari, truk TNI ini membawa kami membelah malam melaju menuju Cidahu, Sukabumi. Perjalanan kami tempuh lewat jalur tol selama 3 s.d 3,5 jam. Tidak ada apa-apa didalam truk TNI itu selain, kami, Pak sopir, anaknya, carrier-carrier/daypack, dan 30 pasang mata yang mengantuk serta mencoba beristirahat karena tahu bahwa esok perjalanan panjang akan segera ditempuh untuk menuju Puncak Gunung Salak.

Sabtu, 26 Maret 2011, Basecamp Start Pendakian via Cidahu, Sukabumi
Pukul 04.00
Setelah menempuh perjalanan dengan medan yang menanjak curam dan jalanan yang banyak membuat hentakan, kurang lebih pukul 4 pagi kami tiba di Basecamp peristirahatan Cidahu, Sukabumi. Di daerah ini sebetulnya merupakan kawasan Kampung Panagan dan berdekatan dengan lokasi Javana Spa. Urusan pembayaran transport lalu kami selesaikan dengan Pak sopir dan mengatur janji untuk menjemput kami esok hari di pintu keluar jalur Pasir Reungit pukul 19.00 malam hari. Kemudian, sambil menunggu waktu subuh kami beristirahat, beberapa memilih beristirahat dengan menggelar matras di saung-saung penduduk, dan beberapa memilih tidur di pelataran Masjid, menurut penduduk setempat Masjid ini memang sering dijadikan tempat beristirahat pendaki yang tiba di kawasan ini pada malam hari. Kemudian memasuki waktu subuh, kami terbangung dan sholat berjama'ah dengan penduduk setempat. Dingin, Dibutuhkan kemauan kuat untuk menggerakkan badan untuk berwudhu dan me-repack alat-alat yang sudah dikeluarkan dari carrier. Setelah sholat subuh, kami mulai naik keatas bergabung dengan tim yang berisitirahat disaung-saung penduduk untuk memulai persiapan masak-memasak untuk sarapan yang penting untuk energi mendaki pagi hari. Nesting, kompor, gas, air dan logistik pun kami keluarkan. Bogem dan Suwi memasak nasi, sop sayuran, tahu goreng dan mie rebus sebagai konsumsi bersama pagi ini. Tak lama kemudian, pemilik saung tempat kami menumpang memasak datang dan membuka daganganya sehingga memudahkan kami memesan air hangat yang pas untuk kami nikmati bersama.

Pukul 07.00
Di pagi ini juga, kami berkenalan dengan dua orang pendaki asal Universitas Klabat Manado, yaitu Michael a.k.a Ekong dan Rommy yang akhirnya menjadi bagian dari tim pendakian kami. Again, Hiking always eases me or may be us, to know more people who have things in common. Well, it allows me to hear more stories and see more sights from them and vice versa.

Setelah sarapan pagi bersama, untuk menyegarkan badan agar tidak kaku, kami OK bersama (OK, Olah Kanuragan, satu istilah menunjuk ke aktivitas fisik untuk pemanasan agar bisa menjalani aktivitas fisik lainnya yang lebih berat), OK ini yang mengingatkan saya ke masa-masa diklat STAPALA kemarin. Genkis yang biasanya dulu ketika diklat memimpin OK, juga ikut sebagai peserta OK. Karena si kawan ini adalah anggota STAPALA yang 1 tahun lebih dahulu sehingga kala itu ia menjadi senior yang biasa kami panggil Kak Genkis :D. Sarapan bersama, lalu OK maka kami lanjutkan dengan perkenalan semua anggota satu persatu. Dan ada dua orang yang namanya rupanya berganti tiba-tiba dari Codet menjadi Andra dan dari Genkis menjadi Claudio :D. Entah apa maksud dan motivasinya, padahal sudah akrab-akrab di telinga kami sapaan Codet dan Genkis. Hahahaha... :)). Terakhir kami berdoa masing-masing dan sedikit briefing mengenai teknis perjalanan, ada perubahan untuk posisi Tim Advanced dari yang tadinya harus didepan, menjadi lebih flexible di semua posisi agar anggota tim tidak kocar-kacir (saran dari Andra a.k.a Codet) barulah nanti ketika sudah mendekati puncak Tim Advanced akan bergerak lebih dahulu untuk menyiapkan tenda dan peralatan lainnya.

Sekitar 1 jam kemudian tim mulai berangkat, menapaki jalanan aspal dengan medan menanjak menuju pos pendaftaran Cidahu sekitar 15 menit perjalanan, medan menanjak ditambah kabut yang menghalangi jarak pandang membuat kami harus berhati-hati untuk menghindari kendaraan yang bisa jadi muncul dari arah berlawanan ditambah pula ruas jalan yang sempit. Kondisi ini makin membenarkan kesan bahwa Gunung Salak memang memiliki medan yang berat. 15 menit kemudian kami tiba di pos pendaftaran, proses administrasi kami lakukan dengan menyerahkan potokopi KTP/Identitas diri dan uang ijin masuk/asuransi sebesar Rp.7.500,- serta penandatanganan satu SIMAKSI bermaterai Rp 6.000 oleh 1 orang perwakilan tim. Perjalanan kami lanjutkan dan saya sempatkan menyampaikan pesan dari petugas administrasi untuk menjaga kebersihan lingkungan, mengutamakan keselamatan tim dan jangan pernah menganggap remeh medan gunung. Beberapa kilometer kedepan adalah jalanan aspal menanjak dengan kiri kanan adalah hutang lindung, sungguh pemandangan yang indah. Berkabut dan dingin, memberikan atmosfer yang sangat jarang dirasakan di kota sebising Jakarta.

Diujung jalanan aspal terdapat satu pos masuk berdekatan dengan jembatan sebagai gerbang dimana pendakian dimulai, namun saat itu pos tersebut ditutup, sehingga kami masuk dengan melintasi sungai kecil berbatu. Perjalanan menapaki hutan Gunung Salak dimulai. Saya berada di kelompok barisan belakang bersama Tim Sweaper lainnya (Bowas, Poski, Mohek dan Erren). Beberapa kilometer pertama dalam perjalanan ini medannya masih terbilang cukup landai dan masih didominasi bebatuan setapak, namun sangat banyak tumbuhan besar atau perdu yang dahan atau daunnya berduri, sehingga sangat dianjurkan segera memakai sarung tangan agar tidak tertusuk duri kalau berpegangan dengan tumbuhan di kiri kanan jalan. Simponi alam: Jangkrik, Burung dan bunyi aliran sungai masih bisa didengarkan beberapa kilometer pertama perjalanan. Dari gerbang tadi perjalanan menuju ke Pos Pertigaan ke Kawah Ratu, total sekitar 4-5 jam perjalanan. Kondisi perjalanan makin mendekati kawasan kawah ratu, maka makin curam, tidak lagi dijumpai penuntun jalan setapak bebatuan, dan sudah memasuki kawasan hutan basah yang yang lantainya berupa tanah becek dan bahkan lumpur ekstrim dengan kedalaman mencapai hingga setinggi dengkul orang dewasa, oleh karena itu sangat dianjurkan mengenakan sepatu boot, atau sepatu yang kuat mencengkram kaki, karena mengenakan sendal sangat beresiko putus atau tertahan didalam lumpur.

Tanjakan yang disajikan alam Gunung Salak, bukan sekedar tanjakan biasa, bisa terbilang curam mendekati 90 derajat, dan keadaan kami pun semakin seru karena sedang turun hujan ditambah pula beban carrier atau daypack dipundak. Saat tracking di medan yang datar, beberapa area memang tidak terlalu dijepit antara dua jurang curam, namun tidak di area yang lain, karena bisa punggungan yang kami lintasi berada diantara dua tebing curam sehingga harus ekstra fokus dan belum lagi jika harus mendaki tanjakan atau melewati turunan karena resikonya adalah jatuh kesalah satu sisi jurang curam. Nafas tersengal-sengal, udara dingin, hujan yang turun dan kadang berhenti, medan berlumpur, tanjakan dan turunan curam dan pepohonan yang rubuh adalah sensasi tersendiri yang mewarnai perjalanan menuju pos pertigaan sebelum menuju ke puncak Gunung Salak I.

Pukul 15.00
Sekitar pukul 15.00 (CMIIW), semua tim tiba di pos pertigaan yang merupakan persimpangan menuju kawah ratu dan puncak gunung salak I, kami beristirahat. Di pos ini ada semacam plang penunjuk mengenai Dont's Things selama pendakian. Setelah sekitar 15 menit berisitrahat kami melanjutkan perjalanan. Dan rupanya medan berlumpur yang harus kami hadapi makin banyak bahkan makin luas, juga tanjakan yang harus dilintasi juga makin esktrim, seingat saya ada kurang lebih 3 tanjakan yang harus dilewati dengan menggunakan tali, bukan didaki dengan tangan. Namun demikian semakin tinggi dan melelahkan perjalanan kami, pemandangan yang dapat kami lihat juga makin indah. Kepulan asap dari kawasan kawah ratu, pemukiman penduduk, area hutan, perbukitan, gunung dan langit biru membuat wajar bila terucap: SUBHANALLAH, atau ungkapan lain yang menunjukkan kebesaran Tuhan. Lazimnya suatu pendakian, maka teriakan untuk memberi tanda bahwa keberadaan personel tidak terlalu jauh menjadi hal biasa, sering terdengar. Saya dan Mohek menjadi dua orang yang paling akhir dalam rombongan sebelum akhirnya salah seorang personel kami, Rizal dapat kami susul, karena rupanya ia berjalan pelan dan dalam kondisi fisik yang tidak fit. Sehingga saya dan Mohek sebisanya memberi bantuan dengan memijat kepalanya yang pusing dan pandangannya yang berputar-putar. Padahal medan didepan semakin sulit dan berat, sehingga kami pun berjalan dengan jauh lebih hati-hati lagi demi keselematan si kawan ini.

Untungnya medan pendakian Gunung Salak ini dilengkapi dengan papan penanda tiap seratur meter dan setiap kilomter, jarak total dari persimpangan kawah ratu ke puncak salak adalah 5 KM (Ya... mungkin setara dengan 5 putaran Jogging Track di kampus STAN. Kami bertiga tertinggal jauh dari rombongan, terbukti dari tidak adanya respon dari rombongan didepan saat kami berteriak keras. Bertiga kami menikmati suguhan pemandangan sambil sesekali mengambil foto yang dikeluarkan Mohek dari dalam carrier Bowas, karena beberapa saat sebelumnya kami memang menyerahkan carrier yang berisi tenda dan logistik ke tim advanced, Bowas sendiri maju kedalam tim itu (saya salut dengan kawan ini yang memang memiliki kelebihan dalam hal ketahanan fisik dan mental). Ketika hampir mencapai 500 meter menjelang sampai ke puncak, Teplox datang menjemput atau mungkin sekedar memastikan bahwa kami bertiga yang tersisa baik-baik saja. Lalu membawakan carrier Rizal, saya sendiri memilih segera tancap gas meneruskan perjalanan karena saya pikir mereka bertiga sudah cukuplah. Saat tracking sendirian di 500 meter terakhir itu, hari sudah petang dan keadaan pelan-pelan mulai agak redup, ada semacam perasaan takut atau khawatir akan hal yang tidak-tidak namun segera saya menepis pikiran itu, fokus meneruskan perjalanan. Semakin tidak sabar saja rasanya mencapai meter demi meter yang bilangannya makin besar menuju Puncak Salak I. Sampai akhirnya saya sujud syukur karena berhasil juga menjejakkan kaki ini diatas Puncak Gunung Salak I 2210mdpl.

Puncak Salak I
Begitu sampai dipuncak, saya segera meletakkan carrier dan mengeluarkan pakaian bersih lalu berganti pakaian, karena belum sholat Ashar dan Dzuhur maka segera terlebih dahulu saya sholat, seadanya dengan kondisi badan yang saya yakin tidak terlalu bersih, ada bekas tanah di kaki dan tangan. Kemudian semua isi carrier saya keluarkan dan saya letakkan didalam tenda yang paling ujung yang sudah diisi oleh Bewok, Alland, Syntax, Kace dan Tapsel. Sementara carrier saya tutup dengan Trashbag dan saya letakkan diluar untuk memperluas ruangan didalam tenda. Beberapa saat kemudian hari sudah magrib rupanya maka segera kami sholat magrib berjamaah secara bergantian, saya dan Bekek berjamaah diimami Bewok.

Puncak Salak I didominasi oleh vegetasi dan pepohonan tinggi, tidak seperti puncak gunung pada umumnya, namun demikian sunset dapat terlihat walau tidak utuh. Kalau sedang tidak ada kabut, maka pemandangan gemerlap lampu kota Sukabumi dapat kita lihat. Puncak Salak I ini begitu basah, sehingga tidak terlalu khawatir jika kehabisan air untuk minum sebab lumut di pepohonan menyimpan banyak air untuk diminum.

Pukul 19.00
Rupanya Ekong dan Rommy sudah memasak nasi, dan baru kali ini saya melihat dipuncak gunung seseorang memasak nasi tanpa ada sisa kerak, sempurna dan pas rasanya. Itulah Rommy, kata Ekong dia biasa dipanggil Ronas, singkatan dari Rommy Nasi. Setelah nasi siap, maka giliran Bogem, Suwi yang memasak konsumsi berupa sambal teri dan indomie rebus yang dicampur dengan sayuran-sayuran mereka dibantu oleh Kucir dan Tapsel. Setelah itu konsumsi dibagi-bagikan dengan kesepakatan bahwa satu Nesting nasi+laukpauknya dikonsumsi oleh 5 orang, saya berlima dengan Eike, Teplox, Rommy dan Ekong. Kami makan di satu tenda yang paling terakhir sekaligus paling sulit didirikan karena pasak nya yang tidak pas dan lokasinya yang berada di paling ujung dan tanah yang becek sehingga tidak bisa menancapkan pasak. Tenda ini didirikan oleh Tubis, saya dan Teplox waktu sesaat sebelum masak-memasak.

Begitu semua sudah kebagian makan, tadinya saya pikir pas kalau dibikin acara semisal game, namun kondisi puncak yang basah dan sempit tidak memungkinkan kalau diadakan game itu, jadinya semua penghuni tenda sibuk dengan aktivitas didalam tenda masing-masing, ada yang cerita, ada yang bermain kartu dll. Sementara Teplox memilih tidur diantara tumpukan carrier diluar beratap flysheet berselimut sleepingbag, katanya ingin menikmati tidur diluar walaupun mungkin ditenda lain masih muat. Tapi menurut saya, ini karena dorongannya untuk memberi rasa nyaman pada saudara-saudaranya didalam tenda supaya tidak terlalu padat. Salut untuk saudara saya yang satu ini.

Saya sendiri didalam tenda berlima dengan Ekong, Oblok, Eike dan Rommy. Lama kami bercerita soal pengalaman pendakian masing-masing, cerita tentang kota Manado dan hal-hal yang menjadi adat-budaya disana, yang paling berkesan adalah waktu Rommy bercerita panjang lebar mengenai cerita mistis khas para pendaki. Jujur saja, selama pengalaman saya mendaki saya tidak pernah terlalu mendalami keyakinan atas hal-hal tersebut, bukan saya tidak menghargai atas nama kearifan lokal, namun saya hanya tidak ingin kalau didalami nanti terpikir terus dan akhir nya jadi cemas dan takut. Jam 21.00 kami semua mulai tertidur, nyenyak. Tetapi pukul 23.30 Eike terbangun karena ada semacam rasa khawatir atas hal yang tidak-tidak, mungkin dipicu juga oleh cerita kami tadi sebelum tidur, lalu kami yakinkan bahwa tidak apa-apa dan jangan terlalu dipikirkan lalu kami lanjut tidur lagi.

Minggu, 27 Maret 2011, Pukul 06.00, Puncak Gunung Salak I
Saya terbangun dan segera sholat shubuh didalam tenda lalu segera keluar untuk melihat pemandangan dari puncak, namun masih banyak kabut dan masih begitu dingin, beruntung saya memakai jaket kelas waktu tingkat II kuliah kemarin yang tebal lapisan dalamnya. Diluar hanya ada Kace, sementara yang lain mungkin sudah bangun namun masih didalam tenda masing-masing, sungkan untuk keluar. Sunrise memang sudah lewat jadinya begitu beberapa kami sudah mulai keluar, kami mulai fokus untuk konsumsi pagi, walau saat itu sesekali hujan rintik turun. Sendok sisa memasak semalam saya coba bersihkan dengan cara menggosoknya memakai lumut yang menempel dipepohonan yang basah mengandung air. Rencananya pagi ini kami akan memasak air dan konsumsi ringan saja, namun setelah dipikirkan ulang langsung saja konsumsi beratnya kami masak untuk energi menuruni puncak, sebabnya adalah karena kondisi di pos berikutnya sulit diprediksi. Lagi-lagi Bogem dan Suwi yang memasak dibantu oleh En-en dan Kucir, kali ini Sarden dan Indomie jadi sarapan kami. Dari tenda sebelah terdengar Codet dan Genkis menyanyikan lagu dari segala genre, tak apalah anggap saja hiburan gratis dari puncak gunung. :D

Kali ini satu nesting untuk berempat, bergabung dengan tenda sebelah bersama Tubis, Syntax, Erren, Sundul dkk. Setelah makan pagi, kami semua fokus untuk packing kembali menyiapkan diri untuk perjalanan pulang menuruni puncak. Ada banyak peralatan yang mesti di packing, belum lagi kemarin hujan menjadikan carrier terasa lebih berat. Setelah semuanya siap. Kami berkumpul bersama untuk berdoa dan akhirnya memulai perjalanan pulang dengan susunan tim yang sama seperti saat berangkat. Namun tidak lupa seperti biasa, selalu ada acara poto bersama, bahkan Mohek yang seorang slankers membawa bendera Slank dan mengambil poto dibawah tulisan Puncak Salak I.

Kita sampai puncak untuk kemudian turun kembali. Itu kadang yang membuat suatu pendakian dipandang aneh bagi orang-orang yang tidak menyukai kegiatan semisal ini. Padahal sebetulnya kalau dipikir-pikir pendakian itu sama seperti perjalanan hidup yang tidak pernah berhenti untuk berjalan dari satu arena ke arena yang lain. Dalam perjalanan itu ada usaha untuk bersabar, bertahan bergembira sehingga bisa betul-betul menikmati perjalanan tersebut.

Pukul 09.30
Kami mulai menuruni puncak dengan rute yang sama sampai ke pertigaan kawah ratu, terbayang medan yang berat yang harus dituruni, dataran berlumpur dan jurang yang curam. Ada keengganan untuk melewatinya, andaikan ada jasa lift atau tangga berjalan :)). Tapi memang disitulah perjuangannya dan salah satu bagian yang berkesan selama pendakian. Beberapa jam pertama saya berenam dengan Poski, Bowas, Sundul, Mohek dan Syntax. Di medan yang berlumpur dan licin saya melepas sandal dan berjalan tanpa alas kaki, sementara kalau jalanan datar dan menanjak kembali barulah saya pakai sandal. Saya mendapat pelajaran bahwa walau tidak terlalu penting namun jika melintasi medan berlumpur maka ada baiknya menyiapkan Sepatu Boot, ini saya ucapkan dan dikira oleh Bowas bahwa ini adalah ungkapan tidak langsung untuk meminjam sepatu bootnya. Hahahaha.. padahal ini murni sebuah ungkapan, namun dasar Bowas baik akhirnya saya bergantian memakai sepatu bootnya, tidak mudah rupanya, ada penyesuaian, apa lagi kaki saya penuh lumpur. Didalam perjalanan kami menyusul rombongan Erren, Oblok dan Alland. Namun tidak lama karena kami berjumpa dengan Bledug dan Rizal yang kondisi kembali tidak fit, sehingga kami memilih berjalan dibelakang mereka untuk berjaga-jaga.

Gula merah sangat penting dalam pendakian, karena memberikan tambahan energi bila dimakan sedikit demi sedikit, namun bila dikunyah sekaligus akan memnyebabkan rasa haus yang tidak nyaman. Sehingga di heading carrier saya menyiapkan gula merah. Satu buah saya kasihkan ke Rizal untuk dimakan, akhirnya setelah beberapa saat beristirahat kami meneruskan perjalanan. Beberapa orang tancap gas, termasuk Syntax, Mohek dan Sundul, akhirnya saya bertiga dengan Bowas dan Poski.

Sekitar jam 15.00 sore
kami tiba di pertigaan kawah ratu-puncak. Disana rupanya ada Bewok yang memberitahukan bahwa rombongan lain sudah berangkat kembali sekitar 10 menit yang lalu. Sementara Ekong, Rommy dan Eike memilih jalur Cidahu kembali, karena kendaraan Eike dan Rommy terparkir di pos pendaftaran Cidahu dan Eike sekalian ingin pulang ke Bogor. Kamipun tak lama beristirahat disana hanya sejenak lalu membersihkan diri di sungai dan meneruskan perjalanan menuju kawah ratu hingga Pasir Reungit yang menjadi jalur keluar kami. Medan dari Kawah Ratu ini sudah jauh lebih landiai dan jelas, ada setapak bebatuan yang tersusun, namun dianjurkan untuk memakai sandal karena batunya cukup tajam-tajam. Kami melintasi pos Helipad terus turun kebawah sampai akhirnya tak lama kemudian dengan jarak hampir 2KM kami tiba di Kawah Ratu, disana rombongan sudah menunggu dan mendirikan flysheet, entah mungkin sudah terlalu menunggu makanya langsung mendirikan flysheet saja atau memang untuk beristitahat sejenak, karena memang tidak dijadwalkan berisitirahat berlama-lama di kawah ratu, paling hanya ke kawah sebentar, poto-poto, tanda-tangan lalu pulang. Namun, kami masih menyempatkan diri memasak lagi untuk tambahan energi.

Ketika saya baru tiba, Kucir langsung memberikan minuman hangat bertiga untuk Bowas dan Poski, lalu Genkis memanggil saya untuk menyusul Teplox yang katany dari tadi menyendiri menuju ke kawah. Akhirnya saya menyusul Teplox kebawah, khawatir menghirup belerang berlebihan saya melepas baju dan menjadikannya sebagai masker pelidung. Akhirnya begitu berhasil mencapai Teplox kami sempatkan duduk santai disekitaran kawah, ia bilang memang lagi ingin menyendiri saja walau sebaiknya jangan sampai blank mengingat kawah dibawah sana sangat berbahaya bila terjatuh atau menghirup udaranya berlebihan. Kami berdua sempat meneriakkan SABUMI dari kawah tersebut, SABUMI itu nama angkatan diklat STAPALA kemarin, walau akhirnya tidak semua kami yang berhasil dilantik menjadi anggota STAPALA, namun setidaknya kami sudah dilantik menjadi satu keluarga. Mungkin akan ada nanti beberapa dari kami yang ikut diklat STAPALA lagi. Time will tell.

Di kawah ratu, kami sholat dzhuhur dan ashar dan dilanjutkan dengan acara tanda-tangan di sehelai kain bertuliskan SABUMI TO SALAK 25-27 Maret 2011 sekaligus poto bersama sebagai kenang-kenangan. Karena nanti Pictures speak more than words. Saat bergegas turun kami berjumpa dengan tiga pendaki asal Pandeglang yang juga hendak turun, dari mereka kami memperoleh informasi bahwa perjalanan menuju Pasir Reungit memakan waktu normal antara 3-4 Jam, itu artinya estimasi yang kami buat salah dan baru akan keluar kawasan sekitar jam 21.00 malam. Saat mulai meninggalkan kawah ratu dan tepat berada sisi lain puncaknya, rombongan kami dan tiga pendaki dari Pandeglang tersebut bergabung menjadi satu tim, namun dipuncak tersebut salah seorang dari Pandeglang itu mulai kebingungan menentukan arah dan parahnya lagi tak satupun dari kami yang sudah pernah mendaki Salak. Akhirnya ditengah kebingungan tersebut, kami mencoba jalur alternatif ke bawah yang searah dengan jalur diklat MAKOPALA (MAPALA nya UBL Ciledug), kami menyusuri jalur tersebut terus hingga tiba-tiba jalur didepan semakin lebat rimbanya dan haripun mulai gelap, disaat itu juga kami mulai menyadari bahwa kami tersesat. Jujur dari dalam diri saya baru menyadari bahwa perjalanan ini besar resikonya, 30 orang lebih, tersesat dan hari mulai gelap. Namun bagaimanapun juga kami harus tetap fokus tidak boleh kosong dan bersikap tenang, dan sebagai jalan aman kami memilih kembali ke jalur yang membingungkan di puncak kawah tadi untuk memastikan sekali lagi bahwa memang itu jalur yang sebenarnya yang hari sebelumnya dilintasi tim Pandeglang saat mendaki Salak lewat gerbang Pasir Reungit.

Pukul 18.00
Kami menelusuri kembali jalur tadi menuju puncak kawah, ada satu hal yang ingin saya ceritakan disini sebagai bahan pemikiran saja dan bukan untuk menakut-nakuti. Ketika dari bawah hendak kembali ke puncak kawah, hari mulai menranjak gelap, dan saya adalah tiga orang terakhir dibarisan paling belakang. Saat melintasi jalur tersebut, saya melihat satu tenda berwarna coklat berdiri agak jauh disebelah kiri saya, saat itu saya kira ini adalah pertanda baik karena dengan adanya tenda itu kami bisa bertanya kemana jalur yang benar ini, namun ketika saya perhatikan dan lihat dengan baik-baik sekali lagi, tenda itu menghilang. Ah.. mungkin halusinasi saya saja karena kelelahan atau apalah. Tiba di puncak, kami akhirnya berdoa kembali demi keselamatan dalam perjalanan pulang kami. Tracking dimalam hari membutuhkan senter atau headlamp agar bisa dengan jelas melihat rute didepan, namun lampu batere saya habis terpakai sebagai penerang waktu makan ditenda malam sebelumnya, sebetulnya ada batere cadangan saya bawa namun karena lokasi senter saya didalam carrier (lupa saya simpan di heading) akhirnya saya sungkan mengeluarkannya belum lagi hari sudah gelap nanti justru akan memperlama perjalanan saja.

Namun saya berterima kasih sekali kepada Poski yang kemudian meminjamkan lampu senternya dengan alasan mata saya yang agak minus, perjalanan terus kami tempuh, ,melintasi kawah mati yang dialiri sungai, terus hingga tanjakan dan turunan yang walau tidak terlalu ekstrim namun cukup membahayakan karena malam gelap hanya mengandalkan cahaya senter saja. Dalam perjalanan tersebut, Rizal kembali fisiknya kurang fit dan ia nyaris jatuh sehingga untuk keselamatannya carriernya dibawakan oleh yang lain. Jalur yang kami tempuh cukup jelas dan ada penanda antar seratus meter dimana tanda yang paling teakhir menunjukkan angka 87 yang berarti sudah sampai di gerbang Pasir Reungit. Menjelang turunan kebawah, cahaya lampu perumahan penduduk mulai terlihat terang diantara gelap hutan, dan terdengar pula lagu-lagu dangdut yang diputar warung pojok penduduk setempat. Saya mulai merasa relieved karena akhirnya sampai juga di peradaban.

Pukul 21.00-22.00
Betul kata Tim Pandeglang tadi, bahwa perjalanan memakan waktu 3-4 jam normal, dan sekitar hampir pukul 22.00. kami akhirnya keluar kawasan setelah berisitirahat sejenak di luar gerbang pos Pasir Reungit. Disitu ada persimpangan menuju jalan besar dan jalur lurus menuju Pehutani Pasir Reungit, saya sendiri sebetulnya bingung mau ambil jalur mana karena belum ada kabar dari Truk TNI yang menjemput kami dimana ia menunggu. tapi kami memilih jalur lurus karena seorang anggota tim kami Codet telah terus mendahului memilih jalur lurus dan daripada meninggalkanya sendirian maka kami memilih menyusulnya, beuntung di saat itu handphone saya masih bisa menyala sehingga menerima panggilan dari Pak Agus dari Truk TNI yang menyampaikan bahwa rekan penggantinya sudah dari jam 19.00 tadi menunggu di Pasir Reungit dekat jembatan di jalur jalan besar, dan saya sampaikan kondisinya kenapa bisa telat akhirnya kami menuju lokasi parkir Truk. Saya sendiri bingung dimana lokasi parkirnya untungnya lagi tim Pandeglang yang tadi berpisah dengan kami karena memilih jalur samping ke jalan besar segera menyusul kami dan memberitahukan lokasi parkir, akhirnya saya dan yang lain segera ke lokasi tersebut sementara Bowas dan Poski menyusul Codet. Begitu tim sudah lengkap, kami semua segera memasukkan carrier kedalam truk, sejenak beristirahat lalu diluar truk untuk sekedar santai dan duduk-duduk. Waktu itu menjelang pukul 10 malam.

Akhirnya kami semua masuk kedalam truk dan mulai meninggalkan Pasir Reungit menuju Bintaro setelah mengucapkan terima kasih pada tim Pandeglang. Didalam truk semuanya kelelahan, beristirahat dan beberapa tertidur dengan membawa cerita dan pengalaman masing-masing mengenai pendakian ke Gunung Salak, gunung yang tidak terlalu tinggi namun medan dan kisahnya sepertinya telah membuat kami berhasil menaklukan ego dan kelemahan diri kami sendiri yang mungkin lebih tinggi dari 2210 mdpl.

Terima kasih banyak kepada SABUMI (termasuk yang berhalangan ikut), Ekong dan Rommy, Tim Pandeglang, Rizal dan Alland , perjalanan ini akan menjadi kenangan seumur hidup, seperti kata Tapsel.

Comments

  1. SABUMI...........!!!
    Gw ga bisa koment apa2 capt, yg bisa gw komentarin paling foto lu yg keliatan mesra bgt sma si tapsel..
    hahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Jangan ragu untuk komentar.. :) Dan untuk menjaga komentar spam, mohon isi dulu kode verifikasi nya.. Trims.

Popular posts from this blog

Sajak Pajak

Ayah: Dunia Seorang Lelaki

Touring Palembang- Baturaja