Posts

Matang

Image
Pernahkah saya memperhatikan buah yang muncul dari putik dan tergantung di ujung ranting pohon? Seharusnya sudah, sering malah. Buah itu kecil ukurannya, keras, dan sama sekali tidak enak. Namun seiring waktu buah itu bertumbuh besar, berwarna kian mencolok dan rasanya menjadi manis. Saya terbenam dan berdiam diri merenungkan fakta ini. Saya menemukan suatu hikmah penting melalui kata kunci seiring waktu, dan pertanyaan yang muncul kemudian dibalik kata kunci itu adalah apa yang sesungguhnya terjadi dalam rentang seiring waktu tersebut. Buah yang kecil itu dijemur di bawah terik matahari yang panas dan tentunya menggerahkan. Belum lagi, gangguan orang iseng yang sewaktu-waktu dapat melemparinya dengan apapun atau memetiknya terlalu cepat lalu mati sia-sia. Perihnya semua itu berlangsung selama berhari-berhari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan lamanya tanpa mampu ia persingkat barang satu detik pun. Itu pula yang sebetulnya terjadi dalam kehidupan kita bukan? Kita berh

Harapan Hari Tua

Image
Semenjak lulus SMA tahun 2004 hidup saya tidak pernah menetap lama disuatu kota. Jika dihitung sudah lima kota saya tinggali dalam kurun waktu 10 tahun terakhir antara lain Tangerang, DKI Jakarta, Palembang, Pangkal Pinang, dan Purwokerto. Itu artinya jika dibagi merata setidaknya setiap 2 tahun sekali saya mesti hidup berpindah. Inilah tantangan dari hidup yang saya jalani dan juga jawaban atas doa- doa yang saya sampaikan pada ALLAH. SWT. Tidak boleh ada drama didalamnya, hidup harus terus berjalan. Toh banyak juga orang dengan pola hidup serupa tetapi masih bisa menikmatinya.   Namun demikian, saya tidak menampik masukan yang disampaikan sanak famili. Diantaranya agar tidak lupa menyiapkan hal yang paling fundamental dalam kehidupan, yaitu rumah. Saya sangat mengerti kekhawatiran mereka, maklum saja terlalu lama hidup jauh dari tanah kelahiran dengan ketiadaan kejelasan perpindahan rentan membuat siapapun lalai membangun kehidupan penopang hari tuanya. Apalagi kini saya sudah beris

Selamat Jalan, Teman!

Image
Kami seusia walaupun tidak saling mengenal sebelumnya.   Pagi tadi saya mengunjunginya setelah terdengar kabar ia pulang ke kampung halamannya di Purwokerto. Tak jauh dari lokasi kampus tempat saya melanjutkan kuliah. Tidak ada alasan khusus yang membuat saya hadir kerumahnya, selain keterikatan sebagai sesama Alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan sesama anggota Korps Chakti Budhi Bhakti. Dirumahnya tampak tak ada keramaian yang terlalu begitu berarti, selain sejumlah orang yang duduk termenung sambil berbincang sekadarnya saja. Kehadirannya disambut biasa saja tanpa gegap gempita atau momen seremonial yang kini digandrungi banyak orang. Saya tidak heran, sebab saya dengar ia memang tidak terlalu menyukai keriuhan.   Saya masuk kerumahnya dan menyapanya dengan tulus. Ia menyambut dengan tenang dan kami pun berbincang dalam diam. Tidak ada dialog, tidak ada ekspresi, semua mengalir begitu saja. Saya bediri dihadapannya dan mengucap takbir dengan lirih dan mendoakan kebaik

Melanjutkan Studi di UNSOED

Image
Purwokerto menyambut kedatangan kami dengan hangat pada tanggal 25 Februari 2015 sekitar pukul 21:00 malam. Kereta Api Bima yang membawa kami dari Stasiun Gambir Jakarta menjadi saksi bagaimana saya dan istri menempuh perjalanan yang nyaris tidak pernah terlintas dalam pikiran kami kala itu. Ya, berpindah dari Pangkal Pinang (Kepulauan Bangka Belitung) menuju Purwokerto (Jawa Tengah) jelas tidak pernah ada didalam rencana hidup kami. Tapi, ternyata ALLAH.SWT berkehendak lain, disanalah akhirnya cerita hidup berlanjut. Pekan ini genap sebulan kami tinggal di Purwokerto… Kamis, 12 Februari 2015 di Koba, Bangka Tengah. Saya sedang melakukan advisory visit ke sejumlah Wajib Pajak di daerah Koba, Bangka Tengah (sekitar 45 menit perjalanan dari Pangkal Pinang) bersama atasan dan sejumlah rekan kerja lainnya. Ini merupakan tugas rutin saya sebagai Account Representative di KPP Pratama Bangka. Tetapi sejak semalam sebelumnya, pikiran saya sudah dipenuhi dengan rasa penasaran soal pengumuman ha

DJP & Jokowi Adalah Kita

Image
DJP kini menjadi sasaran opini miring. Banyak pihak mengerenyitkan kening dan meragukan kemampuannya terkait mission impossible untuk mencapai target Rp1.296 Triliun, sebab disaat yang sama beragam tentangan mengemuka atas wacana- wacana agresif instansi yang dikomandani oleh Sigit Priadi Pramudito ini. DJP Akhirnya seperti dihadapkan pada kondisi paradoksal, ditantang tetapi sekaligus ditentang. Menyikapi beberapa aksi agresif DJP belakangan ini, beberapa kalangan menyesalkan mengapa baru dilakukan sekarang setelah target penerimaan melambung tinggi. Banyak yang belum paham, bahwa sebetulnya inovasi agresif DJP sudah lama dijalankan bahkan jauh sebelum isu monetary incentives diangkat. Ini dapat dibuktikan dari tren positif rata- rata pertumbuhan capaian penerimaan sebesar 15,61% dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Sulit membayangkan bagaimana mungkin DJP bisa dibebani tambahan target hampir sebesar Rp300 Triliun oleh Jokowi setelah shortfall tahunan rutin yang kerap kali mewarna

Dan Akhirnya Kita Bicara Tentang...

Image
Jauh sebelum ini. Saat kita kira hidup akan menjadi lebih sempurna. Hari- hari yang kita jalani seakan menjadi penghibur. Dan memberi harapan tentang esok yang lebih indah. Kita terus bercerita tentang apapun. Tentang banyak hal yang selalu kita utarakan dalam bahasa yang sama. Bahasa cinta kita berdua. Kita seperti menggengam dunia. Sempurna dipayungi cita dalam cinta. Akhirnya kita mengerti. Atas nama harapan, cita dan cinta kan selalu seiring. Dan kita terus saja bicara tentang hari depan yang masih jauh. Hari depan yang akan kita habiskan bersama. Lengkap dengan bumbu cerita ideal yang kita pendam dalam doa dan asa. Tapi harapan yang indah tidak selalu murah. Selalu ada harga yang harus dibayar, dunia kita seakan buyar. Hidup tidak selalu seindah rencana. Tak selalu semudah yang kita tata. Kita akhirnya dipahamkan tentang kelemahan dan keterbatasan. Dan dalam diam kita bicara dan mulai bertanya. Ditengah ketidaksempurnaan ini. Masih mampukah kita menjaga cita? Du

Realita Untuk Dirga (II)

Image
Dirga bergegas pulang membawa serta rasa bangga. Tetapi disaat yang sama, batinnya dirundung cemas membayangkan ayahnya yang sejak dua jam lalu terbujur kaku dimeja operasi. Gemetar kaki Dirga saat melangkah memasuki pintu rumah sakit, ia terus berjalan menyusuri labirin lorong yang menuju ruang operasi. Derap langkahnya senada dengan batinnya yang tiada berputus asa dalam doa. "Semoga ayah sembuh!" Dirga masih belum siap bila semuanya harus berubah. Ia terbiasa hidup lurus menuju cita- cita. Ayahnya adalah suntikan utama semangatnya. Dirga sudah berada 10 meter dari ruang tunggu kamar operasi. Ia tahu ibu dan beberapa saudara ayahnya telah sedari tadi menunggu disana. Langkah Dirga makin berat, ia seperti tak sanggup mengangkat kepala dan menatap lurus ruangan itu. Semua yang terlintas dalam benaknya adalah kilasan memori masa kecilnya. Saat ia dan ayahnya berplesir sore mengitari kota dengan motor vespa sederhana sambil ayahnya memberi cerita cita yang hebat baginya, tenta